SENGKETA STATUS HAK ATAS TANAH ANTARA
PT. TOBA PLUP LESTARI DENGAN MASYARAKAT ADAT DESA PANDUMAA SIPITUHUTA DI
KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
BAB I
1.1 latar Belakang
Di
Indonesia konflik-konflik muncul dari kenyataam bahwa hak-hak masyarakat atau
adat diakui namun tidak dihargai. Masyarakat yang telah menduduki dan mengelola
lahan negara dari generasi ke generasi memiliki hak-hak penggunaan untuk
kawasan tersebut (dikenal sebagai Hukum Adat). Walaupun hak-hak adat telah
diakui sebagai Hukum Adat di dalam UU Kehutanan tahun 1999 dan
perundang-undangan lainnya, namun hak adat atas tanah tidak ditemukan dalam
kawasan hutan, karena kawasan hutan tersebut masih dikategorikan sebagai milik
negara. Hal inilah yang memicu kontroversi dan konflik.
Lengsernya
pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 secara bersamaan menampakkan
permasalahan-permasalahan dari hak penggunaan lahan yang baru (HTI) dengan
hak-hak lokal. Di bawah rezim Soerharto masyarakat tidak dieprbolehkan untuk
menyampaikan protes atau klaim secara terbuka. Baru setelah tahun 1998, suatu
perioede yang disebut sebagai masa reformasi yang juga meliputi reformasi
hukum, peran besar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutang didorong
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 4. Bersama dengan implementasi dari
kebijakan pembagian peran dan desentralisasi Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan lokal, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan. Perubahan ini merupakan suatu bentuk transisi dari yang
otoriter kepada rezim demokratis yang juga berbarengan pengurangan penegakan
hukum, sehingga memungkinkan masyarakat untuk secara bebas menyampaikan protes.
Permasalahan-permasalahan
ini menjadi lebih nyata pada kawasan-kawasan luas yang dikembangkan untuk
industri. Masyarakat mulai mengajukan keberatan kepada pemerintah daerah dan
mempertanyakan kompensasi dari pengambilan lahan untuk konsesi secara terbuka
dan bahkan menghalangi operasional perusahaan.
Konflik
berawal pada bulan Juni Tahun 2009, pihak PT. Toba Plup Lestari bersama para
kontraktornya melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Haminjon (Hutan
Kemenyan) milik masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipiti Huta (700 KK
masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Sumatera Utara). Mereka bukan hanya menebang kayu alam,
tetapi juga pohon kemenyan, dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan
tanaman eucalyptus. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan
menggunakan limbah padat TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan.
Alasan pihak TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah
karena mereka memiliki ijin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini
pihak Menteri Kehutanan antara lain:
Areal
Tombak Haminjon seluas kurang lebih 4100 Ha ini, sebenarnya sudah dimiliki dan
dikusahai masyarakat adat desa pandumaan dan sipitu huta secara turun temurun
sejak 300-an tahun yang lalu secara hukum adat yang hidup, diyakini, ditaati
hingga sekarang. Areal ini merupakan identitas diri masyarakat desa Pandumaan
dan Sipitihuta sebagai masyarakat adat dan merupakan sumber mata pencaharian
utama bagi mereka. Dari areal inilah masyarakat dari 2 (dua) desa tersebut
memperoleh sumber kehidupan.
Alasan pihak TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena mereka memiliki ijin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Kehutanan antara lain:
Alasan pihak TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena mereka memiliki ijin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Kehutanan antara lain:
- SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perobahan dengan SK Menhut No. SK.351/Menhut-II/2004 tentang perubahan kedua atas keputusan Menhut no. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian HPHTI kepada PT IIU. SK Menhut ini hanya merobah nama, dari PT IIU menjadi PT TPL. Sedangkan luasannya tetap 269.069 Ha.
- SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Propinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha, khususnya menyangkut lahan kemenyan milik warga 2 desa.
- Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, Nomor 522.21/2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan.
- Surat Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT.TPL tahun 2009.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Hukum Pertanahan memberikan perlindungan hukum dalam rangka menciptakan
kepastian hak milik atas tanah adat?
2. Bagaimana status kayu hutan alam yang berada di areal konsesi Perusahaan
HTI PT. Toba Plup Lestari yang menjadi
sengketa?
BAB III
PEMBAHASAN
2.1
Hukum
Pertanahan di Indonesia yang mengatur dan memberikan perlindungan hak milik
atas tanah adat
A.
Hukum
Adat sebagai Sumber Utama Lahirnya Hukum Tanah Nasional
Berbicara
mengenai pengertian hukum tanah, tidak terlepas dari dijadikannya hukum adat
sebagai dasar hukum berlakunya UUPA. Hal ini sesuai dengan penjelasan
konsiderans dalam UUPA, dinyatakan bahwa hukum tanah nasional disusun
berdasarkan hukum adat. Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat dijumpi
dalam :
1) Penjelasan
Umum angka III (1);
2) Pasal
5 dan penjelasannya.
Dalam Penjelasan Umum
angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa :
Dengan
sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
daripada rakyat banyak. Oleh karena itu rakyat Indonesia sebagian besar tunduk
pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam
hubungannya dengan dunia inetrnasional serta disesuaikan dengna sosialisme
Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukm adat dalam pertumbuhannya tidak
terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat colonial yang kapitalis dan
masyrakat swapraja yang feodal.
Sejalan
dengan penjelasan umum angka III (1) UUPA di atas, dalam Pasal 5 UUPA mengatur
bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lahirnya
UUPA sebagai hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat
sebagai sumber utama, mengacu kepada hukum adat, konsepsi, asas-asas dan
lembaga-lembaga hukumnya.
Pengaturan
hak milik atas tanah menurut UUPA pada dasarnya bersumber dari hukum adat. Hal
ini dapat dilihat dari pengertian hak milik atas tanah berdasarkan UUPA. Dalam
UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni :
1) Hak
milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
2) Hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Sifat-sifat
dari hak milik membedakannya dengan hak-hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak
yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian
sifat ini berarti bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan
tidak dapat diganggu gugat” sebagaimana hak eigendom
menurtu pengertiannya yang asli dulu. Oleh karena itu hak milik tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sehingga hak
tersebut wajib didaftarkan.
Hak
milik menurut UUPA adalah hak milik yang mempunyai fungsi sosial seperti juga
semua hak atas tanah lainnya (Pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti
bahwa hak milik atas tanah tersebut disamping hanya memberikan manfaat bagi
pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin bermanfaat bagi orang
lain dan kepentingan umum.
Banyaknya
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat
atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya
sebagai produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum
adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk
menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Ada
banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian
masional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam
pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat
merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan
kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih
dari pada itu mukadimah UUPA 1960, meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan
menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum
agrarian nasional. Namun, perlu diketahui bahwa hukum agrarian itu berdasarkan
hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat
kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agrarian nasional,
maka hukum adat yang ada di seluruh daerah Indonesia dicarikan format atau
bentuk umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tujuannya adalah untuk
meminimalisasi konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk
itu, substansi Pasal 5 UUPA 1960, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adat
yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agrarian adalah hukum adat yang pro
terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi.
Dari
penjelasan di atas, lahirnya UUPA bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum
adat. Jadi, hukum pertanahan nasional memberikan perlindungan terhadap hak
milik atas tanah yang diperoleh berdasarkan hukum adat.
B.
Hak
Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, Hak Tanah Kesain dan Tanah Merimba
Hak atas tanah
di Batak yaitu Hak Atas Huta, tidak dapat digugat oleh perorangan penduduk,
oleh karena yang berhak atas tanah hulayat kampung adalah penduduk kampung
bersama-sama sebagai suatu persekutuan hukum. Pengadilan Negeri tidak berhak
mengadili Hak Atas Huta, oleh karena hak tersebut adalah wewenang persekutuan
huta tersebut. Yang dimaksud dengan “kesain: di lingkungan masyarakat adat Karo
adalah suatu “kampung” yaitu suatu tempat kediaman yang berdiri dari beberapa
bangunanrumah adat dengan tanah pekarangan, berdasarkan ikatan kekerabatan
“sangkep ni telu” (kalimbubu, anak beru dna semina). Jadi, Kesain adalah tanah
yang dikuasai kampung, bukan tanah perorangan.
Tanah Merimba
adalah sebidang sawah yang diperoleh secara marimba (membuka hutan), selama 5
tahun berturut-turut dibiarkan saja kepada yang berhak, maka hak atas tanah itu
dapat dianggap telah dilepaskan (rechtsverwerking). Yang menjadi permasalahan sengketa permasalah
tanah antara masyarakat adat Batak dengan PT Toba Pulp Lestari adalah perampasan
dan penebangan areal ”Tombak Haminjon” (Hutan
Kemenyan) sekitar 4100 Ha, milik 700 KK masyarakat adat desa
Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan,
Sumatera Utara oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Dimana tanah tersebut
adalah ”Tanah Merimba” oleh masyarakat adat Batak Toba yang sudah membuka hutan
dan menanam kemenyan sejak nenek moyang mereka.
C.
Terjadinya
Hak Milik atas Tanah
Terjadinya
hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur
di dalam UUPA, yang di dalam Pasal 22 UUPA disebutkan :
1) Terjadinya
hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2) Selain
menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi
karena :
a. Penetapan
pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
b. Ketentuan
undang-undang.
Terjadinya
hak milik menurut hukum adat contohnya seperti pembukaan tanah. Tanah yang
semula hutan, dibuka untuk dikerjakan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Tetapi debgab dibukanya tanah itu saja, hak milik atas tanah itu belumlah
tercipta. Yang membuka tanah baru mempunyai hak atas utama untuk menanami tanah
itu. Apabila tanah ditanami dengan maka
terciptalah hak pakai. Hak pakai bisa berubah menjadi hak milik yang sekarang
diakui sebagai hak milik menurut UUPA.
Terjadinya
hak milik karena ketentuan undang-undang adalah atas dasar ketentuan konvensi
menurut UUPA. Semua hak atas tanah yang ada sebelum tanggal 24 September 1960
diubah menjadi salah satu hak yang baru. Perubahan ini disebut konversi. Maka
ada hak-hak yang dikonversi menjadi hak milik, yaitu berasal dari :
a. Hak
eigendom kepunyaan badan-badan hukum
yang memenuhi syarat.
b. Hak
eigendom, jika pemiliknya pada
tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
c. Hak
milik adat, hak agrarisch eigendom, hak
grant sultan dan yang sejenis, jika
pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
d. Hak
golongan yang bersifat tetap.
Terjadinya
hak milik karena penetapan pemerintah memerlukan suatu proses, dimulai dengan
mengajukan permohonan kepada instansi pemerintah yang mengurus tanah,
selanjutnya instansi tersebut mengeluarkan surat keputusan pemberian hak milik
kepada pemohon. Setelah itu pemohon berwajiban untuk mendaftarkan haknya
tersebut kepada Kantor Pendaftaran Tanag untuk dibuatkan buku tanah dan kepada
pemohon diberikan sertifikat yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat
ukur sebagai bukti dari haknya tersebut. Hak milik lahir pada waktu dibuatkan
buku tanah.
Banyaknya
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat
atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya
sebagai produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum
adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk
menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Ada
banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian
masional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam
pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat
merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan
kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih
dari pada itu mukadimah UUPA 1960, meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan
menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum
agrarian nasional. Namun, perlu diketahui bahwa hukum agrarian itu berdasarkan
hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat
kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agrarian nasional,
maka hukum adat yang ada di seluruh daerah Indonesia dicarikan format atau
bentuk umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tujuannya adalah untuk
meminimalisasi konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk
itu, substansi Pasal 5 UUPA 1960, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adat
yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agrarian adalah hukum adat yang pro
terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan
di atas, lahirnya UUPA bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum adat. Jadi,
hukum pertanahan nasional memberikan perlindungan terhadap hak milik atas tanah
yang diperoleh berdasarkan hukum adat.
2.2
Status Kayu Hutan Alam yang Berada di Areal Konsesi
Perusahaan HTI PT. Toba Plup Lestari
yang Menjadi Sengketa
A.
Hak Bangsa Indonesia dan Masyarakat Adat Atas Tanah
Dalam Pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) UUPA No. 5 Tahun
1960 dinyatakakan bahwa : “ (1) seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang
telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan meruapakan kekayaan nasional. (3) Hubungan bansa
Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini
adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Dengan penjelasan di atas Hak Bangsa Indonesia
adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak
tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa
hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak
perseorangan atas tanah yang dimaksud oleh Penjelasan Umum di atas, secara
langsung maupun tidak langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa.
Perlindungan terhadap Hak Ulayat masyarat hukum adat juga dilindungi dalam
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang NO. 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan bahwa semua hutan yang ada di wilayah Indonesia
ini termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara.
Dengan demikian, apakah hak masyarakat-masyarakat hukum adat atas hutan
ulayatnya dihapuskan? Dengan perkataan lain, apakah Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan tidak mengakui adanya Hak Ulayat?
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat diakui,
tetapi sepanjang kenyataannya masih ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA.
Di dalam Pasal 17 ditentukan, bahwa “pelaksanaan
hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya serta perorangan untuk
mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang
didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataan masih ada,
tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini”. Dari penjelasan Pasal 17 ini dapat diketahui bahwa Hak
Ulayat masyarakat hukum adat masih diakui dan dilindungi begitu juga dengan tanah
ulayat dan hutan kemenyaan masyarakat hukum adat dari
Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan
(Humbahas) yang diakui dan dilindungi Undang-Undang.
B.
Status Kayu Hutan Alam yang Berada di Areal Konsesi
Perusahaan HTI PT. Toba Plup Lestari
Komoditas hasil hutan kayu yang sudah masuk pasar
tidak dapat diketahui asal usulnya antara kayu yang berasal dari hutan
produksi, hutan lindung, hutan konservasi atau dari hutan hak, kebun,
pekarangan atau lahan rakyat, serta tidak dapat dibedakan antara kayu yang
diperoleh secara legal dengan kayu yang didapat secara ilegal karena tidak ada
tanda, label, surat atau sertifikat yang dapat membedakannya.
Legalitas komoditas hasil hutan kayu terakhir kali
dapat diketahui pada saat kayu tersebut diangkut dari hutan ke alamat tujuan,
karena pada saat pengangkutan tersebut harus disertai bersama-sama dengan
dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai bukti legalitas
pengangkutan hasil hutan sebagaimana disebutkan Pasal 50 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa setiap orang dilarang mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hasil hutan kayu dikatakan sah atau legal apabila pada saat diangkut disertai
bersama-sama dengan SKSHH dan dikatakan tidak sah atau ilegal apabila pada saat
pengangkutan tanpa disertai bersama-sama dengan SKSHH.
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah
dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen
kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. (Pasal 1 angka 29 PP No. 6 Tahun
2007).
Pengaturan legalisasi pengangkutan hasil hutan kayu
silih berganti mengalami dinamika, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 legalisasi pengangkutan hasil hutan kayu mengacu pada Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts-IV/90 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
525/Kpts-II/91 yang menyebutkan bahwa dokumen yang menyatakan sahnya hasil
hutan adalah Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) untuk kayu Bulat, Surat Angkutan
Kayu Olahan (SAKO) untuk kayu olahan dan Surat Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu
(SAHHBK) untuk hasil hutan bukan kayu, dimana pengukuran, pengujian, dan
penerbitan
SAKB atau SAKO dilakukan sendiri (self approval)
oleh pemegang izin, untuk SAKB diterbitkan oleh pemegang izin hak pengusahaan
hutan (HPH) atau pemegang izin hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI)
sedangkan untuk SAKO diterbitkan oleh pemegang izin industri pengolahan hasil
hutan (IPHH).
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
132/Kpts-II/2000 tentang Pemberlakuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) sebagai Pengganti Dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB), Surat
Angkutan Kayu Olahan (SAKO), dan Surat Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (SAHHBK)
maka penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dilakukan oleh
pejabat kehutanan yang ditunjuk (official approfal). Keputusan Menteri ini
kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan menteri kehutanan Nomor
126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan, nama surat legalitas hasil
hutan masih tetap yaitu Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), untuk
penerbitnya selain Perum Perhutani dilakukan oleh pejabat kehutanan yang ditunjuk.
Kemudian diakhir tahun 2006 kembali terjadi
perubahan pengaturan legalisasi pengangkutan hasil hutan yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang
Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
yang Berasal dari Hutan Hak dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan
Negara.
Perubahan yang mendasar adalah adanya Perbedaan
Dokumen antara dokumen hasil hutan kayu yang berasal dari Hutan Hak
(Kebun/pekarangan/lahan warga) dengan dokumen hasil hutan kayu yang berasal
dari Hutan Negara.
Yang perlu dipahami bahwa hutan hak berbeda dan
tidak termasuk diantaranya Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Hutan Hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1
angka 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 1 angka 22 PP No. 6
Tahun 2007). Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. (Pasal 1 angka 23 PP No. 6 Tahun 2007
dan Pasal 1 angka 1 Permenhut Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan. Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani
izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
(Pasal 1 angka 24 PP No. 6 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 7 Permenhut nomor : P.
49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa ).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat dilindungi oleh Undang-Undang. akar
permasalahan antara masyarakat dengan PT TPL Tbk adalah mengenai tapal batas
kegiatan tanaman Industri TPL tidak jelas. Tapal Batas Wilayah Kegiatan TPL
tidak dilaksanakan sampai sekarang, dan sesuai SK Nomor 493/kpts-II/92
disebutkan didalamnya untuk mengharuskan kepada PT Indorayon Utama yang berubah
nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) wajib melaksanakan penataan
tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak
keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutan RI, hingga pada saat ini pihak PT
TPL, Tbk tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman
industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Seharusnya
PT. Toba Plup Lestari tidak melanggar dari ketentuan Undang-Undang dan
perlindungan Hak Ulayat dan Hak Milik Tanah masyarakat hukum adat dari Desa
Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan
(Humbahas). Seharusnya Menteri Kehutanan
memberikan izin usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada PT. Toba
Lestari Plup dan bersikap tegas terhadap permasalahan yang ada.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lahirnya UUPA sebagai hukum tanah
nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama,
mengacu kepada hukum adat, konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga
hukumnya.Pengaturan hak milik atas tanah menurut UUPA pada dasarnya bersumber
dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pengertian hak milik atas tanah
berdasarkan UUPA. Dalam UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20
UUPA.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat diakui,
tetapi sepanjang kenyataannya masih ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA.
Hak milik atas tanah dan hak ulayat masyarakat adat masih dilindungi dan semua
peraturan bersumber dari hukum adat.
Seharusnya PT. Toba Plup
Lestari memiliki Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan
sebagaimana disebutkan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 dan mengikuti SK Nomor 493/kpts-II/92 mengenai tapal batas. PT.
Toba Plup Lestari tidak menebang hutan kemenyan di Hutan kemasyarakatan dan di hutan desa dimana hasil hutan tersebut dan
status dari hutan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang.
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono,
Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia.
Cetakan Kedelapan. Jakarta : Djambatan.
Sutedi, Adrian. 2007. Peralihan Hak Tas Tanah Dan Pendaftarannya.
Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.
Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. tahun 1960 No. 194,
TLN No. 2043).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang
Kehutanan.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
402/Kpts-IV/90 jo tentang legalisasi Pengangkutan Hasil Hutan Kayu.
Republik
Indonesia, SK Nomor 493/kpts-II/92 tentang Tapal Batas
Penebangan Hasil Hutan Oleh PT. Toba Plup Lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar