Senin, 15 Februari 2016

SENGKETA STATUS HAK ATAS TANAH ANTARA PT. TOBA PLUP LESTARI DENGAN MASYARAKAT ADAT DESA PANDUMAA SIPITUHUTA DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN



SENGKETA STATUS HAK ATAS TANAH ANTARA PT. TOBA PLUP LESTARI DENGAN MASYARAKAT ADAT DESA PANDUMAA SIPITUHUTA DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

BAB I
1.1  latar Belakang
Di Indonesia konflik-konflik muncul dari kenyataam bahwa hak-hak masyarakat atau adat diakui namun tidak dihargai. Masyarakat yang telah menduduki dan mengelola lahan negara dari generasi ke generasi memiliki hak-hak penggunaan untuk kawasan tersebut (dikenal sebagai Hukum Adat). Walaupun hak-hak adat telah diakui sebagai Hukum Adat di dalam UU Kehutanan tahun 1999 dan perundang-undangan lainnya, namun hak adat atas tanah tidak ditemukan dalam kawasan hutan, karena kawasan hutan tersebut masih dikategorikan sebagai milik negara. Hal inilah yang memicu kontroversi dan konflik.
Lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 secara bersamaan menampakkan permasalahan-permasalahan dari hak penggunaan lahan yang baru (HTI) dengan hak-hak lokal. Di bawah rezim Soerharto masyarakat tidak dieprbolehkan untuk menyampaikan protes atau klaim secara terbuka. Baru setelah tahun 1998, suatu perioede yang disebut sebagai masa reformasi yang juga meliputi reformasi hukum, peran besar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutang didorong Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 4. Bersama dengan implementasi dari kebijakan pembagian peran dan desentralisasi Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan lokal, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan. Perubahan ini merupakan suatu bentuk transisi dari yang otoriter kepada rezim demokratis yang juga berbarengan pengurangan penegakan hukum, sehingga memungkinkan masyarakat untuk secara bebas menyampaikan protes.
Permasalahan-permasalahan ini menjadi lebih nyata pada kawasan-kawasan luas yang dikembangkan untuk industri. Masyarakat mulai mengajukan keberatan kepada pemerintah daerah dan mempertanyakan kompensasi dari pengambilan lahan untuk konsesi secara terbuka dan bahkan menghalangi operasional perusahaan.
Konflik berawal pada bulan Juni Tahun 2009, pihak PT. Toba Plup Lestari bersama para kontraktornya melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan) milik masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipiti Huta (700 KK masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara). Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga pohon kemenyan, dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman eucalyptus. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan menggunakan limbah padat TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Alasan pihak TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena mereka memiliki ijin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Menteri Kehutanan antara lain:
Areal Tombak Haminjon seluas kurang lebih 4100 Ha ini, sebenarnya sudah dimiliki dan dikusahai masyarakat adat desa pandumaan dan sipitu huta secara turun temurun sejak 300-an tahun yang lalu secara hukum adat yang hidup, diyakini, ditaati hingga sekarang. Areal ini merupakan identitas diri masyarakat desa Pandumaan dan Sipitihuta sebagai masyarakat adat dan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi mereka. Dari areal inilah masyarakat dari 2 (dua) desa tersebut memperoleh sumber kehidupan.
Alasan pihak TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena mereka memiliki ijin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Kehutanan antara lain:
  1. SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perobahan dengan SK Menhut No. SK.351/Menhut-II/2004 tentang perubahan kedua atas keputusan Menhut no. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian HPHTI kepada PT IIU. SK Menhut ini hanya merobah nama, dari PT IIU menjadi PT TPL. Sedangkan luasannya tetap 269.069 Ha.
  2. SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Propinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha, khususnya menyangkut lahan kemenyan milik warga 2 desa.
  3. Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, Nomor 522.21/2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan.
  4. Surat Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT.TPL tahun 2009.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hukum Pertanahan memberikan perlindungan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hak milik atas tanah adat?
2.      Bagaimana status kayu hutan alam yang berada di areal konsesi Perusahaan HTI PT. Toba Plup Lestari  yang menjadi sengketa?
BAB III
PEMBAHASAN
2.1         Hukum Pertanahan di Indonesia yang mengatur dan memberikan perlindungan hak milik atas tanah adat
A.    Hukum Adat sebagai Sumber Utama Lahirnya Hukum Tanah Nasional
Berbicara mengenai pengertian hukum tanah, tidak terlepas dari dijadikannya hukum adat sebagai dasar hukum berlakunya UUPA. Hal ini sesuai dengan penjelasan konsiderans dalam UUPA, dinyatakan bahwa hukum tanah nasional disusun berdasarkan hukum adat. Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat dijumpi dalam :
1)      Penjelasan Umum angka III (1);
2)      Pasal 5 dan penjelasannya.
Dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa :
Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena itu rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia inetrnasional serta disesuaikan dengna sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukm adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat colonial yang kapitalis dan masyrakat swapraja yang feodal.  
Sejalan dengan penjelasan umum angka III (1) UUPA di atas, dalam Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lahirnya UUPA sebagai hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, mengacu kepada hukum adat, konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya.
Pengaturan hak milik atas tanah menurut UUPA pada dasarnya bersumber dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pengertian hak milik atas tanah berdasarkan UUPA. Dalam UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni :
1)      Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
2)      Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Sifat-sifat dari hak milik membedakannya dengan hak-hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini berarti bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagaimana hak eigendom menurtu pengertiannya yang asli dulu. Oleh karena itu hak milik tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sehingga hak tersebut wajib didaftarkan.
Hak milik menurut UUPA adalah hak milik yang mempunyai fungsi sosial seperti juga semua hak atas tanah lainnya (Pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti bahwa hak milik atas tanah tersebut disamping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain dan kepentingan umum.
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian masional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih dari pada itu mukadimah UUPA 1960, meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agrarian nasional. Namun, perlu diketahui bahwa hukum agrarian itu berdasarkan hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agrarian nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh daerah Indonesia dicarikan format atau bentuk umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, substansi Pasal 5 UUPA 1960, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agrarian adalah hukum adat yang pro terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas, lahirnya UUPA bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum adat. Jadi, hukum pertanahan nasional memberikan perlindungan terhadap hak milik atas tanah yang diperoleh berdasarkan hukum adat.
B.     Hak Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, Hak Tanah Kesain dan Tanah Merimba
Hak atas tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, tidak dapat digugat oleh perorangan penduduk, oleh karena yang berhak atas tanah hulayat kampung adalah penduduk kampung bersama-sama sebagai suatu persekutuan hukum. Pengadilan Negeri tidak berhak mengadili Hak Atas Huta, oleh karena hak tersebut adalah wewenang persekutuan huta tersebut. Yang dimaksud dengan “kesain: di lingkungan masyarakat adat Karo adalah suatu “kampung” yaitu suatu tempat kediaman yang berdiri dari beberapa bangunanrumah adat dengan tanah pekarangan, berdasarkan ikatan kekerabatan “sangkep ni telu” (kalimbubu, anak beru dna semina). Jadi, Kesain adalah tanah yang dikuasai kampung, bukan tanah perorangan.
Tanah Merimba adalah sebidang sawah yang diperoleh secara marimba (membuka hutan), selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja kepada yang berhak, maka hak atas tanah itu dapat dianggap telah dilepaskan (rechtsverwerking).  Yang menjadi permasalahan sengketa permasalah tanah antara masyarakat adat Batak dengan PT Toba Pulp Lestari adalah perampasan dan penebangan areal ”Tombak Haminjon” (Hutan Kemenyan) sekitar 4100 Ha,  milik  700 KK masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Dimana tanah tersebut adalah ”Tanah Merimba” oleh masyarakat adat Batak Toba yang sudah membuka hutan dan menanam kemenyan sejak nenek moyang mereka.
C.    Terjadinya Hak Milik atas Tanah
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang di dalam Pasal 22 UUPA disebutkan :
1)      Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)      Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena :
a.       Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
b.      Ketentuan undang-undang.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat contohnya seperti pembukaan tanah. Tanah yang semula hutan, dibuka untuk dikerjakan oleh seseorang atau kelompok masyarakat. Tetapi debgab dibukanya tanah itu saja, hak milik atas tanah itu belumlah tercipta. Yang membuka tanah baru mempunyai hak atas utama untuk menanami tanah itu. Apabila tanah ditanami dengan  maka terciptalah hak pakai. Hak pakai bisa berubah menjadi hak milik yang sekarang diakui sebagai hak milik menurut UUPA.
Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah atas dasar ketentuan konvensi menurut UUPA. Semua hak atas tanah yang ada sebelum tanggal 24 September 1960 diubah menjadi salah satu hak yang baru. Perubahan ini disebut konversi. Maka ada hak-hak yang dikonversi menjadi hak milik, yaitu berasal dari :
a.       Hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum yang memenuhi syarat.
b.      Hak eigendom, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
c.       Hak milik adat, hak agrarisch eigendom, hak grant sultan dan yang sejenis, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
d.      Hak golongan yang bersifat tetap.
Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah memerlukan suatu proses, dimulai dengan mengajukan permohonan kepada instansi pemerintah yang mengurus tanah, selanjutnya instansi tersebut mengeluarkan surat keputusan pemberian hak milik kepada pemohon. Setelah itu pemohon berwajiban untuk mendaftarkan haknya tersebut kepada Kantor Pendaftaran Tanag untuk dibuatkan buku tanah dan kepada pemohon diberikan sertifikat yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur sebagai bukti dari haknya tersebut. Hak milik lahir pada waktu dibuatkan buku tanah.
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian masional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih dari pada itu mukadimah UUPA 1960, meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agrarian nasional. Namun, perlu diketahui bahwa hukum agrarian itu berdasarkan hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agrarian nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh daerah Indonesia dicarikan format atau bentuk umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, substansi Pasal 5 UUPA 1960, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agrarian adalah hukum adat yang pro terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas, lahirnya UUPA bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum adat. Jadi, hukum pertanahan nasional memberikan perlindungan terhadap hak milik atas tanah yang diperoleh berdasarkan hukum adat.
2.2    Status Kayu Hutan Alam yang Berada di Areal Konsesi Perusahaan HTI PT. Toba Plup Lestari  yang Menjadi Sengketa
A.    Hak Bangsa Indonesia dan Masyarakat Adat Atas Tanah
Dalam Pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) UUPA No. 5 Tahun 1960 dinyatakakan bahwa : “ (1) seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan meruapakan kekayaan nasional. (3) Hubungan bansa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Dengan penjelasan di atas Hak Bangsa Indonesia adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak perseorangan atas tanah yang dimaksud oleh Penjelasan Umum di atas, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa. Perlindungan terhadap Hak Ulayat masyarat hukum adat juga dilindungi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang NO. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan bahwa semua hutan yang ada di wilayah Indonesia ini termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara. Dengan demikian, apakah hak masyarakat-masyarakat hukum adat atas hutan ulayatnya dihapuskan? Dengan perkataan lain, apakah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak mengakui adanya Hak Ulayat?
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat diakui, tetapi sepanjang kenyataannya masih ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA. Di dalam Pasal 17 ditentukan, bahwa “pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya serta perorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataan masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Dari penjelasan Pasal 17 ini dapat diketahui bahwa Hak Ulayat masyarakat hukum adat masih diakui dan dilindungi begitu juga dengan tanah ulayat dan hutan kemenyaan masyarakat hukum adat dari Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) yang diakui dan dilindungi Undang-Undang.
B.     Status Kayu Hutan Alam yang Berada di Areal Konsesi Perusahaan HTI PT. Toba Plup Lestari
Komoditas hasil hutan kayu yang sudah masuk pasar tidak dapat diketahui asal usulnya antara kayu yang berasal dari hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi atau dari hutan hak, kebun, pekarangan atau lahan rakyat, serta tidak dapat dibedakan antara kayu yang diperoleh secara legal dengan kayu yang didapat secara ilegal karena tidak ada tanda, label, surat atau sertifikat yang dapat membedakannya.
Legalitas komoditas hasil hutan kayu terakhir kali dapat diketahui pada saat kayu tersebut diangkut dari hutan ke alamat tujuan, karena pada saat pengangkutan tersebut harus disertai bersama-sama dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan sebagaimana disebutkan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil hutan kayu dikatakan sah atau legal apabila pada saat diangkut disertai bersama-sama dengan SKSHH dan dikatakan tidak sah atau ilegal apabila pada saat pengangkutan tanpa disertai bersama-sama dengan SKSHH.
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. (Pasal 1 angka 29 PP No. 6 Tahun 2007).
Pengaturan legalisasi pengangkutan hasil hutan kayu silih berganti mengalami dinamika, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 legalisasi pengangkutan hasil hutan kayu mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts-IV/90 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 525/Kpts-II/91 yang menyebutkan bahwa dokumen yang menyatakan sahnya hasil hutan adalah Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) untuk kayu Bulat, Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO) untuk kayu olahan dan Surat Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (SAHHBK) untuk hasil hutan bukan kayu, dimana pengukuran, pengujian, dan penerbitan
SAKB atau SAKO dilakukan sendiri (self approval) oleh pemegang izin, untuk SAKB diterbitkan oleh pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) atau pemegang izin hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) sedangkan untuk SAKO diterbitkan oleh pemegang izin industri pengolahan hasil hutan (IPHH).
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 132/Kpts-II/2000 tentang Pemberlakuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai Pengganti Dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB), Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO), dan Surat Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (SAHHBK) maka penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dilakukan oleh pejabat kehutanan yang ditunjuk (official approfal). Keputusan Menteri ini kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan menteri kehutanan Nomor 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan, nama surat legalitas hasil hutan masih tetap yaitu Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), untuk penerbitnya selain Perum Perhutani dilakukan oleh pejabat kehutanan yang ditunjuk.
Kemudian diakhir tahun 2006 kembali terjadi perubahan pengaturan legalisasi pengangkutan hasil hutan yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara.
Perubahan yang mendasar adalah adanya Perbedaan Dokumen antara dokumen hasil hutan kayu yang berasal dari Hutan Hak (Kebun/pekarangan/lahan warga) dengan dokumen hasil hutan kayu yang berasal dari Hutan Negara.
Yang perlu dipahami bahwa hutan hak berbeda dan tidak termasuk diantaranya Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 angka 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 1 angka 22 PP No. 6 Tahun 2007). Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. (Pasal 1 angka 23 PP No. 6 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 1 Permenhut Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. (Pasal 1 angka 24 PP No. 6 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 7 Permenhut nomor : P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa ).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat dilindungi oleh Undang-Undang. akar permasalahan antara masyarakat dengan PT TPL Tbk adalah mengenai tapal batas kegiatan tanaman Industri TPL tidak jelas. Tapal Batas Wilayah Kegiatan TPL tidak dilaksanakan sampai sekarang, dan sesuai SK Nomor 493/kpts-II/92 disebutkan didalamnya untuk mengharuskan kepada PT Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, Tbk  (TPL) wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutan RI, hingga pada saat ini pihak PT TPL, Tbk tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Seharusnya PT. Toba Plup Lestari tidak melanggar dari ketentuan Undang-Undang dan perlindungan Hak Ulayat dan Hak Milik Tanah masyarakat hukum adat dari Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).  Seharusnya Menteri Kehutanan memberikan izin usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada PT. Toba Lestari Plup dan bersikap tegas terhadap permasalahan yang ada.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lahirnya UUPA sebagai hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, mengacu kepada hukum adat, konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya.Pengaturan hak milik atas tanah menurut UUPA pada dasarnya bersumber dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pengertian hak milik atas tanah berdasarkan UUPA. Dalam UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat diakui, tetapi sepanjang kenyataannya masih ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA. Hak milik atas tanah dan hak ulayat masyarakat adat masih dilindungi dan semua peraturan bersumber dari hukum adat.
Seharusnya PT. Toba Plup Lestari memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan sebagaimana disebutkan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan mengikuti SK Nomor 493/kpts-II/92 mengenai tapal batas. PT. Toba Plup Lestari tidak menebang hutan kemenyan di Hutan kemasyarakatan dan di hutan desa dimana hasil hutan tersebut dan status dari hutan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang.


















DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Djambatan.
Sutedi, Adrian. 2007. Peralihan Hak Tas Tanah Dan Pendaftarannya. Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.
Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. tahun 1960 No. 194, TLN No. 2043).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Kehutanan.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts-IV/90 jo tentang legalisasi Pengangkutan Hasil Hutan Kayu.
Republik Indonesia, SK Nomor 493/kpts-II/92 tentang Tapal Batas Penebangan Hasil Hutan Oleh PT. Toba Plup Lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar