Senin, 15 Februari 2016

HUKUM KEKERABATAN DAN PERJAJIAN ADAT HUKUM PERUTANGAN DALAM MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA



HUKUM PERUTANGAN
DALAM MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam kebudayaan dan adat istiadat. Untuk itu, sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang tersebut perlu mengetahuinya agar tidak lupa dengan adat istiadatnya. Dengan modernisasi sekarang ini terkadang melupakan adat istiadat dan kaidah-kaidah yang ada di dalamnya. Banyaknya masalah-masalah yang timbul di lingkungan lebih banyak menyelesaikan langsung dengan jalur hukum tanpa memperhatikan lagi bahwa masih ada jalur lain yaitu dengan hukum adat yang berlaku. Terutama dalam hal utang piutang yang tentunya dapat menimbulkan masalah-masalah di kemdian hari.
 Hukum perutangan menurut Hukum Adat adalah keseluruhan peraturan hukum yang menguasai hak-hak atas benda-benda selain tanah dan perpindahan hak-hak itu, serta hukum mengenai jasa-jasa. Jadi pada dasarnya Hukum Perutangan dalam Hukum Adat bukan mengenai utang piutang seperti yang diatur dalam BW.
Hukum perutangan dalam hukum adat dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu :
1.      Hukum Perutangan Sosial
Dengan tolong-menolong tanpa mecari keuntungan, dalam bentuk :
ü  Beri-memberi;
Maknanya belas kasihan, harga menghargai, tanda ingat, akrab/dekat. Dalam hal ini dapat berupa barang ringan (bernilai rendah) atau barang tinggi ( bernilai tinggi).
ü  Pinjam-meminjam;
Berupa tukar pinjam dengan bentuk barang sejenis atau tukar menukar dengan barang yang berbeda dalam jangka waktu sementara.
ü  Urus-mengurus;
Biasanya dilakukan dalam suasana suka/duka, perselisihan, untuk peternakan, pertanian, dimana waktunya lebih singkat dibanding titip menitip.
ü  Titip-menitip;
Dapat berupa barang, hewan, atau bahkan orang.
ü  Tolong-menolong;
Karena adanya asas timbal balik dari hutang budi untuk membalasnya antara personal.
ü  Gotong royong
Lebih kepada kepentingan umum/bersama..
2.      Hukum Perutangan Ekonomi
Hukum Perutangan Ekonomi dengan mencari keuntungan dalam bentuk :
ü  Tukar-menukar
ü  Jual-beli
ü  Sewa-menyewa
ü  Upah-mengupah
Masyarakat Indonesia tidak terlepas dengan hukum adat yang diatur di setiap masing-masing wilayah di Indonesia. Dalam melakukan setiap acara, perjanjian, penyelesaian sengketa terlebih dahulu menggunakan hukum adat yang berlaku. Biasanya masyarakat adat lebih menggunakan hukum perutangan sosial tanpa mengambil keuntungan.
Namun perkembangan dari tahun ke tahun membuat masyarakat tidak lagi menggunakan hukum perutangan sosial tetapi lebih menggunakan Hukum Perutangan Ekonomi yang mengambil keuntungan.
Berbeda dengan masyarakat adat Batak Toba yang sampai sekarang masih mengutamkan hukum adat dan hukum perutangan sosial. Untuk itu perlu pemahaman lebih lanjut mengenai pengaturan hukum adat, terutama dalam penelitian ini lebih memusatkan kepada masyarakat adat Batak Toba yang masih kuat dengan peraturan adat istiadatnya.
1.2     Tujuan
Sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki beraneka ragam kebudayaan dan adat istiadat, penerus bangsa tentunya tidak boleh meninggalkan latar belakang tersebut. Tugas Makalah Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai Hukum Perutangan terutama dalam masyarakat Batak Toba. Di samping itu, Makalah Penelitian ini disusun untuk melengkapi syarat tugas Hukum Kekerabatan dan Perjanjian Adat.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah untuk selanjutnya diteliti dan dikemukakan dalam makalah dari masyarakat adat Batak Toba, yaitu :
1)      Bagaimana penerapan hukum perutangan dalam masyarakat Batak Toba?
2)      Bagaimana hukum perutangan untuk tanah dan uang dalam masyarakat adat Batak Toba?
1.4  Metode Pengumpulan Data
Data yang dikemukakan dalam Makalah Penelitian ini diperoleh melalui berbagai cara. Pertama, dengan mencari nara sumber tokoh masyarakat Batak Toba dan melakukan wawancara. Di samping itu, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya dengan Hukum Adat khususnya Hukum Perutangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Hukum Perutangan dalam Masyarakat Batak Toba
Dalam bahasa Batak hutang dan piutang dikenal dengan istilah utang-singir dalam arti sempit yaitu hukum tentang utang piutang, dan pardabu-dabuan dalam arti yang luas yaitu mengenai hukum yang dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa.
1)      Tata cara membuat perjanjian utang piutang sesuai dengan hukum perutangan dalam hukum adat masyarakat Batak Toba
Tempat yang paling tepat untuk membicarakan suatu perjanjian utang piutang di masyarakat Batak Toba adalah partungkoan di huta (pelataran di bawah naungan pohon tua di desa) atau lapo (kedai makanan) yang ada disekitar desa. Setelah membicarakan mengenai perjanjian yang akan dilakukan terutama mengenai utang piutang agar sah harus dirundingkan dan ditutup sesuai denga adat (di bagasan adat). Pihak yang ingin berhutang mengundang pihak pemberi hutang untuk makan malam di rumah pihak yang ingin berhutang dan disaksikan kepala kampung. Kepala kampung wajib diundang dan hadir apabila menyangkut perjanjian-perjanjian yang penting termasuk utang piutang. Kepala kampung juga dapat memberitahukan mengenai hal-hal yang dirasakan janggal dalam perjanjian utang piutang tersebut. Apabila kepala kampung tidak memberitahukannya, kepala kampung dapat dimintakan ikut menanggung kerugian yang timbul dari perjanjian tersebut.
Apabila timbul sengketa dari perjanjian yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum adat, dimana perjanjian tidak disaksikan kepala kampung dan dilakukan bukan di rumah, maka sengketa yg diajukan ke pengadilan Hakim tidak akan mendukung atas perjanjian yang dilakukan. Seperti dalam umpama Batak : “Padan sidua-dua atik beha patolu begu,padan sitolu-tolu paopat jolma” perjanjian yang dilakukan hanya berdua sebagai pihak ketiganya adalah setan, tetapi perjanjian yang disaksikan pihak ketiga maka perjanjian tersebut sah.
Setelah membicarakan mengenai perjanjian utang piutang maka dalam perjanjian tersebut selanjutnya dibantu oleh na mambege hata (seorang saksi). Na mambege hata adalah pihak ketiga sebagai saksi dari perjanjian tersebut yang mendengar jalannya pembicaraan para pihak, membantu para pihak mencapai kesepakatan, dan mengetahui isi perjanjian utang piutang. Atas jasanya itu, na mambege hata memperoleh siingot-ingot atau ingot-ingot (uang untuk jasa sebagai saksi).
Selain kepala kampung dan na mambege hata (seorang saksi) ada juga pihak yang membantu mengenai perjanjian utang piutang antara para pihak yaitu domu-domu (pihak ketiga yang membantu). Domu-domu membantu para pihak yang mengadakan perjanjian utang piutang mengenai cara pembayaran utang, syarat-syarat mengenai perjanjian utang piutang, dan manola (menyelesaikan masalah untuk mencapai kesepakatan). Domu-domu menerima upa domu-domu (jasa domu-domu) untuk partisipasinya sebagai pihak ketiga yang membantu para pihak. Upa domu-domu (jasa domu-domu) diberikan oleh para pihak dan besarnya upa domu-domu ditentukan oleh para pihak.
Objek dalam perjanjian utang piutang dalam masyarakat Batak Toba, meliputi :
a)      Tanah;
b)      Uang;
c)      Guguan (sumbangan untuk upacara bersama) dihutang menurut ukuran beras dan padi;
d)     Ternak;
e)      Alat-alat pertanian;
f)       Emas-permata;
g)      Perkakas rumah tangga.
Dalam masyarakat adat Batak Toba, tata cara mengadakan perjanjian untuk objek-objek dalam hutang perutangan berbeda-beda. Adapaun tata cara mengadakan perjanjiannya adalah sebagai berikut :
a.       Tanah
Biasanya dalam masyarakat adat Batak Toba, tanah tidak dapat dijual. Sehingga, untuk melunasi hutang piutang yang timbul dari hutang judi yang jumlahnya besar, tanah tersebut dialihkan untuk selamanya dan tanah dapat dijadikan sebagai jaminan atas hutang yang timbul.
Adanya formalitas adat dalam mengadakan perjanjian perutangan agar diakui sah. Keikut sertaan kepala kampung yang diundang untuk datang ke rumah pihak yang ingin berutang adalah sangat penting dan paling utama dalam formalitas adat. Kepala kampung mempunyai kewajiban untuk mengetahui status tanah yang akan dipinjamkan atau sebagai jaminan dalam hutang piutang apakah tanah tersebut sudah dibebani hutang sebagai jaminan. Apabila terjadi sengketa dari perjanjian utang piutang tersebut kepala kampung berkewajiban sebagai penegah.
b.      Uang
Masyarakat Batak Toba biasanya meminjam uang dengan marsoli (pinjaman tanpa bunga) dan manganahi (pinjaman dengan bunga). Adanya formalitas adat agar perjanjian sah, harus dirundingkan dengan adat dan ditutup dengan adat (dibagasan adat). Salah satu bagian formalitas adat yang paling penting adalah dimana  pihak yang berutang mengundang pihak peminjam untuk makan malam dan disaksikan oleh kepala kampung.
Utang yang timbul tidak hanya dari meminjam uang kepada seseorang tetapi utang uang juga dapat timbul pada saat penerimaan tanda saut (tanda jadi) pada saat pertunangan, dan calon mempelai perempuan yang sudah menerima tanda saut (tanda jadi) tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain yang disebut sebagai ni oro ni hepeng. Secara otomatis calon mempelai perempuan mempunyai utang tanda saut (tanda jadi) kepada calon mempelai laki-laki, dan membayarnya apabila calon mempelai perempuan membatalkan pertunangan. Calon mempelai laki-laki saling menukarkan tanda burju, yang kemudian pada saat melangsungkan pernikahan memberikan ulos hela (ulos batak untuk hela) dari mertua perempuan. Adanya formalitas adat, dimana parboru (keluarga mempelai perempuan) mengadakan makan bersama dengan paranak (keluarga mempelai laki-laki). Untuk membicarakan mengenai pertunangan dan perkawinan parboru (keluarga mempelai perempuan) dengan paranak (keluarga mempelai laki-laki) dibantu oleh domu-domu (pihak ketiga yang membantu). Domu-domu membantu mengenai besarnya tanda saut (tanda jadi) dan besarnya tuhor boru (mahar mempelai perempuan), dan untuk itu domu-domu menerima upa domu-domu (imbalan untuk domu-domu).
Apabila keluarga calon mempelai perempuan membatalkan pertunangan, tanda saut ni hepeng (tanda jadi uang) harus dikembalikan kepada keluarga calon mempelai laki-laki, dan pada saat suami meninggal dunia parboru (keluarga perempuan) membayarkan patilaho (sejumlah uang kecil) kepada paranak (keluarga laki-laki). Dengan diterimanya patilaho, perempuan tersebut dapat bebas dari keluarga mempelai laki-laki.
c.       Guguan (sumbangan untuk upacara bersama) dihutang menurut ukuran beras dan padi)
Sama halnya seperti perjanjian utang piutang tanah dan uang, guguam juga harus dilaksanakan dengan formalitas adat. Guguan (sumbangan panen) diberikan masyarakat adat Batak Toba yang mempunyai sawah atau kebun dengan memberikan hasil panen dari sawah dan kebun mereka untuk upacara adat panen dan untuk gereja. Apabila hasil panen yang diperoleh tidak cukup untuk diberikan guguan, maka guguan dapat diutang dengan denda berupa uang, ternak, dan padi.
d.      Ternak
Ternak seperti kerbau yang dipinjam untuk membajak sawah dan ternak tidak dapat dijadikan sebagai jaminan untuk membayar hutang. Untuk ternak dikenal dikenal dengan istilah bagi-laba,karena tidak dapat diperoleh untung setiap hari dari ternak tersebut. Pada umumnya, yang diternakkan adalah babi, kuda, dan kerbau. Pemilik ternak parmahanhon (memberikan ternaknya untuk dipelihara orang lain), sedangkan yang memelihara ternak mamahani. Masyarakat Batak Toba di Samosir memberikan sanghae (upah) seperempat dari anak ternak yang dipamahan (yang memelihara ternak); masyarakat Batak Toba di Balige memberikan upah seekor anak ternak dari ternak yang dipahan (yang memelihara ternak).
e.       Alat-alat pertanian
Masyarakat Batak Toba yang ekonominya kurang mampu, biasanya meminjam alat-alat pertanian yang harganya mahal dan tidak mampu untuk dibeli. Biasanya dibayar dengan hasil panen sawah mereka yang jumlahnya tidak ditentukan pemilik alat-alat pertanian. Alat-alat pertanian yang nilainya mahal dan nilainya yang kecil dapat digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian hutang piutang, sebagai tanda bahwa adanya hutang kepada pemberi hutang.
f.       Emas-permata
Sebagaimana dalam objek perhutangan dalam masyarakat adat yang telah dijelaskan di atas, setiap perjanjian utang piutang yang dilakukan para pihak harus mengikuti dan melaksanakan formalitas adat. Mengadakan perjanjian perutangan agar diakui sah. Keikut sertaan kepala kampung yang diundang untuk datang ke rumah pihak yang ingin berutang adalah sangat penting dan paling utama dalam formalitas adat. Apabila jumlah hutangnya besar, emas-permata dapat digunakan sebagai jaminan.
g.      Perkakas rumah tangga
Perkakas rumah tangga yang nilainya tidak sebanding dengan jumlah hutang dapat dijadikan sebagai jaminan atas perjanjian utang piutang. Perkakas rumah tangga sebagai jaminan adanya hutang yang diketahui oleh masyarakat sekitarnya kepada pemberi hutang dengan melihat jaminan tersebut. Biasanya masyarakat Batak Toba tidak suka melihat barang miliknya dengan jangka waktu yang lama dikuasai oleh orang lain walaupun nilai barang tersebut kecil.
2)      Hal-hal yang harus ditaati dalam hukum adat masyrakat adat Batak Toba mengenai hukum perutangan
Para pihak yang membuat perjanjian utang piutang harus memenuhi kontrak sebagaimana isi dari perjanjian yang mereka buat dan sepakati. Seperti peribahasa dalam masyarakat Batak Toba : “hori ihot ni doton,padan siingoton” yang artinya setiap janji harus dipenuhi. Perjanjian mengenai utang piutang yang dibuat par pihak memuat mengenai besarnya utang, jaminan, bunga atas utang tersebut, cara pelunasan, waktu pembayaran, dan sanksinya.
Terkadang orang yang berhutang mengelak untuk membicarakan mengenai hutangnya kepada pihak yang pemberi hutang; dan menunggu sampai kreditur mendesak pembayarannya (martunggu). Martunggu singgir (mendesak membayar), merupakan peristiwa cukup penting bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Martunggu singgir (mendesak membayar) tidak dapat dilakukan secara sembarangan, atau pada waktu yang tidak tepat. Penagihan hutang dengan martunggu singgir tidak dapat dilakukan pada malam hari, harus memilih kata-kata yang tepat untuk menagih hutang dan mendatangi langsung debitur. Serperti peribahasa dalam masyarakat Batak Toba : “ansimun na martangan ama ni mandulo, ia I donganmu marpadan, tusi ma ho uso-uso” yang artinya orang yang memberi janji kepada kita, kepada dialah kita menagihnya. Karena masyarakat adat Batak Toba menghormati adat parsingiron (cara yang tepat untuk menangih hutang).
Hutang harus dibayarkan kepada kreditur, bukan kepada pihak yang menyatakan berhak menerima pembayaran tersebut. Orang yang menggadaikan tanah tanah dan kemudian ingin menebus kembali tanah yang digadaikannya, dia harus membayar uang yang diterima atas tanah yang digadaikannya kepada penerima gadai dan bukan kepada pihak lain penerima gadai dari penerima gadai pertama. Barang yang dipinjam harus dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan. Seperti peribahasa dalam masyarakat Batak Toba : “ Tabo-tabo sitarapullak, sian i dijalo tusi dipaulak” yang artinya dari siapa sesuatu diterima, kepadanya pula harus dikembalikan.
Setiap sengketa yang timbul dari perjanjian utang piutang yang dibuat para pihak harus lebih dahulu meminta pendapat pengadilan Hukum Adat untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak.
3)      Tata cara penyelesaian pelunasan hutang dalam masyarakat Batak Toba
Dalam hal penyelesaian pelunasan hutang dalam masyarakat Batak Toba dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan hukum adat dan rasa kekeluargaan, yaitu :
a.       Meminta pelunasan hutang dengan kemurahan hati
Masyarakat Batak Toba masih lebih menjunjung rasa kekeluargaan dan toleransi antar sesamanya, termasuk dalam hal pelunasan hutang. Seseorang yang memberi hutang akan bersikap sabar jika orang yang berutang belum mampu atau bahkan tidak mampu membayar hutangnya. Orang yang belum mampu membayar hutangnya akan dilihat kondisi dan alasan belum melunasi hutangnya. Apabila orang yang berhutang sakit parah, usaha orang yang berhutang gagal, atau gagal panen.
Keturunan dari seseorang yang meninggal dunia dan mengetahui bahwa hutang yang ditinggalkan mendiang orang tuanya cukup besar, akan mengundang kreditur untuk makan ke rumahnya dengan maksud merundingkan bagaimana pelunasan hutang tersebut. Apabila keturannya tidak mampu membayar hutang yang ditinggalkan orang tuanya, akan mangelek-elek (membujuk) dengan memohon kemurahan hati orang yang memberi hutang. Kepala kampung yang mengetahui dan diundang akan membantu membujuk pemberi hutang.
Kreditur biasanya akan menerima elek-elek (bujukan) dengan ketidak mampuan para pihak untuk membayar hutang akan sia-sia jika dipaksa untuk membayar, dan masyarakat adat Batak Toba yang menghormati adat parsingiron (cara yang tepat untuk menagih hutang).
b.      Membayar hutang dengan bekerja kepada pihak pemberi hutang
Biasanya membayar hutang dengan bekerja kepada pihak pemberi hutang karena ketidakmampuan membayar hutang yang jumlahnya besar. Parutang ginomgom (orang yang berutang dibawah penguasaan pihak pemberi hutang) dengan bekerja untuk melunasi hutangnya. Jolma mandingding (orang yang kekampung pemberi hutang) dengan bekerja sesuai dengan  yang diperintahkan pemberi hutang sampai hutangnya lunas.
c.       Membayar hutang kepada pangamai (pemberi jaminan)
Jaminan biasanya diberikan pihak yang berhutang kepada pihak pemberi hutang sebagai itikad baik dan pernyataan bahwa mempunyai hutang. Masuknya pihak ketiga sebagai pagamai (penjamin) dari orang yang berhutang dan yang akan mengawasinya jangan sampai melanggar hukum adat yang ada. Penjamin biasanya manaon (memikul) beban hutang dari orang yang berhutang dan mempunyai kewajiban membayar hutang pihak yang berhutang. Seperti peribahasa masyarakat Batak Toba : “Ripak-ripak ni saung, aos-aos ni ansuan, ia olo na manggarar utang” yang artinya barang siapa yang menawarkan diri sebagai penjamin, harus sudah siap membayar hutang. Setelah penjamin membayar hutang,orang yang berhutang kemudian bertanggung jawab kepada penjamin tersebut.
1.2    Hukum perutangan untuk tanah dan uang dalam hukum adat masyarakat Batak  Toba
1.      Tanah
Tanah dapat dipakai sebagai objek dalam perjanjian utang piutang, dimana tanah dapat diapakai sebagai jaminan (manggadehon) atau dijual utang melunasi hutang yang jumlahnya sangat besar. Manombahon (memohon) agar sebidang tanahnya dibeli untuk melunasi hutangnya yang jumlahnya cukup besar dibandingkan dengan nilai tanahnya. Untuk tanah sebagai objek jaminan dalam perjanjian hutang piutang, kepala kampung wajib mengetahuinya dan mengawasi atas tanah tersebut.
Biasanya tanah dijadikan sebagai jaminan atas hutang uang dan sebagai pembayaran perkawinan anak laki-laki (pangolihon anak). Tanah yang digunakan sebagai objek jaminan hutang dapat tetap berada di tangan orang yang berhutang (tahan ni hepeng atau daga-daga)  atau ditangan orang yang memberi hutang (sindor atau gade). Borot  (jaminan) berupa tanah yang berada di tangan orang yang berhutang dapat diambil oleh orang pemberi hutang apabila tidak melakukan kewajibannya untuk melunasi hutang. Kreditur dapat memperoleh kembali uangnya dengan cara menggadaikan kembali tanah tersebut kepada pihak ketiga, menyerahkan kepada orang lain untuk digarap berdasarkan bagi hasil, atau mengambilnya untuk digunakan sendiri sampai orang yang berhutang menebusnya kembali.
Sebidang tanah yang sudah digadaikan tidak dapat ditebus dengan sepotong-potong. Martobus (penebusan) setelah dua tahun dan setelah habis panen. Jika memperlukan uang lagi, orang yang berhutang dapat meminjam uang lagi kepada pemberi hutang dan sekaligus pemegang jaminan tanah dengan manggodangi (memperbanyak) nilai pinjaman yang dibebankan atas tanah.  Apabila orang yang berhutang meninggal dunia, anaknya mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan hutang dimana tanah yang telah digadaikan, dan sebaliknya apabila orang yang memberikan hutang meninggal dunia, anaknya dapat menagih hutang dan mempunyai hak atas tanah gadai tersebut.
2.      Uang
Adanya peminjaman uang dalam masyarakat Batak Toba adalah dari hutang judi, perdagangan ternak, penyelesaian pembayaran tuhor ni boru (mahar mempelao perempuan), dan denda. Bentuk meminjam uang dapat dilakukan dengan marsali (meminjam uang tanpa sesuatu kewajiban membayar bunga) dan manganahi (meminjam uang dengan kewajiban membayar bunga). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai tata cara peminjaman uang dengan formalitas adat batak agar dinyatakan sah.
Marsali (meminjam uang tanpa sesuatu kewajiban membayar bunga) biasanya diberikan oleh pemberi hutang karena orang yang berhutang memberikan jaminan, dan dapat ditebus sebagai pembayaran suatu hutang uang. Jika tidak ada bunga dari uang yang dipinjamkan, orang yang memberi hutang biasanya meminta biaya-biaya seperti ongkos-ongkos yang dikeluarkannya untuk menangih hutang (nasa haboratan laho manjalo).
Manganahi (meminjam uang dengan kewajiban membayar bunga) biasanya bunga atas hutang tersebut 20%, 30%, atau bahkan 40% selama setahun, dan kadang-kadang bunganya lebih tinggi. Meminjamkan uang dengan bunga biasanya dilakukan karena tidak adanya jaminan berupa barang berharga oleh orang yang berhutang atau mengenakan bunga jika tujuan peminjaman uang digunakan untuk dagang. Bunga dibayarkan dapat dibayarkan dalam bentuk padi dan bukan uang, dan dibayarkan setiap bulan.
Dapat dilakukan pemindahan hak (legot) atas persetujuan pemberi hutang, dimana orang yang berhutang sudah mengenal pemberi hutang yang baru (pajumola).
Pelunasan hutang uang dapat dilakukan dengan kemurahan hati (asi ni roha) dengan mangalaplap (menghapuskan sebagian besar hutang uang). Apabila orang yang berhutang sudah meninggal dunia, hutang dari orang yang meninggal tersebut menjadi tamggung jawab anaknya. Pelunasan hutang dapat dilakukan dengan terter (pembayaran dengan tunai) dan dengan manopihi (melunasi dengan menyicil).
BAB III
PENUTUP
Dalam masyarakat Batak Toba masih menjunjung formalitas adat dalam melakukan suatu perjanjian termasuk perjanjian utang piutang agar perjanjian tersebut sah. Tempat dilaksanakannya perjanjian hutang piutang, pihak ketiga yang menjadi saksi dan kepala kampung yang wajib harus mengikuti dan mengetahui perjanjian yang dibuat para pihak. Bentuk dari objek-objek perutangan dalam hukum adat masyarakat Batak Toba mempunyai kriteria dan tata cara yang berbeda-beda untuk melakukan perjanjian utang piutang atas objek-objek tersebut.
Pelunasan hutang dilakukan dalan bentuk kekeluargaan dan masih mengahormati adat parsingiron (cara yang tepat untuk menagih hutang) dan sengketa yang timbul dari perjanjian yang dibuat para pihak meminta pendapat dari pengadilan Hukum Adat.
Dari penmbahasan dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat adat Batak Toba masih lebih mengarah kepada Hukum Perutangan Sosial dengan tolong-menolong, kekeluargaan, dan tidak mengambil keuntungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar