HUKUM PERUTANGAN
DALAM MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Negara Indonesia
merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam kebudayaan dan adat istiadat.
Untuk itu, sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang tersebut perlu
mengetahuinya agar tidak lupa dengan adat istiadatnya. Dengan modernisasi
sekarang ini terkadang melupakan adat istiadat dan kaidah-kaidah yang ada di
dalamnya. Banyaknya masalah-masalah yang timbul di lingkungan lebih banyak
menyelesaikan langsung dengan jalur hukum tanpa memperhatikan lagi bahwa masih
ada jalur lain yaitu dengan hukum adat yang berlaku. Terutama dalam hal utang
piutang yang tentunya dapat menimbulkan masalah-masalah di kemdian hari.
Hukum perutangan menurut Hukum Adat adalah
keseluruhan peraturan hukum yang menguasai hak-hak atas benda-benda selain
tanah dan perpindahan hak-hak itu, serta hukum mengenai jasa-jasa. Jadi pada
dasarnya Hukum Perutangan dalam Hukum Adat bukan mengenai utang piutang seperti
yang diatur dalam BW.
Hukum perutangan
dalam hukum adat dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu :
1. Hukum
Perutangan Sosial
Dengan
tolong-menolong tanpa mecari keuntungan, dalam bentuk :
ü Beri-memberi;
Maknanya belas kasihan,
harga menghargai, tanda ingat, akrab/dekat. Dalam hal ini dapat berupa barang
ringan (bernilai rendah) atau barang tinggi ( bernilai tinggi).
ü Pinjam-meminjam;
Berupa tukar pinjam
dengan bentuk barang sejenis atau tukar menukar dengan barang yang berbeda
dalam jangka waktu sementara.
ü Urus-mengurus;
Biasanya dilakukan
dalam suasana suka/duka, perselisihan, untuk peternakan, pertanian, dimana
waktunya lebih singkat dibanding titip menitip.
ü Titip-menitip;
Dapat berupa barang,
hewan, atau bahkan orang.
ü Tolong-menolong;
Karena adanya asas
timbal balik dari hutang budi untuk membalasnya antara personal.
ü Gotong
royong
Lebih kepada
kepentingan umum/bersama..
2. Hukum Perutangan Ekonomi
Hukum
Perutangan Ekonomi dengan mencari keuntungan dalam bentuk :
ü Tukar-menukar
ü Jual-beli
ü Sewa-menyewa
ü Upah-mengupah
Masyarakat Indonesia tidak terlepas dengan hukum adat yang
diatur di setiap masing-masing wilayah di Indonesia. Dalam melakukan setiap
acara, perjanjian, penyelesaian sengketa terlebih dahulu menggunakan hukum adat
yang berlaku. Biasanya masyarakat adat lebih menggunakan hukum perutangan
sosial tanpa mengambil keuntungan.
Namun perkembangan dari tahun ke tahun membuat masyarakat
tidak lagi menggunakan hukum perutangan sosial tetapi lebih menggunakan Hukum
Perutangan Ekonomi yang mengambil keuntungan.
Berbeda dengan masyarakat adat Batak Toba yang sampai
sekarang masih mengutamkan hukum adat dan hukum perutangan sosial. Untuk itu
perlu pemahaman lebih lanjut mengenai pengaturan hukum adat, terutama dalam
penelitian ini lebih memusatkan kepada masyarakat adat Batak Toba yang masih
kuat dengan peraturan adat istiadatnya.
1.2
Tujuan
Sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki beraneka ragam
kebudayaan dan adat istiadat, penerus bangsa tentunya tidak boleh meninggalkan
latar belakang tersebut. Tugas Makalah Penelitian ini disusun dengan tujuan
untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai Hukum Perutangan terutama dalam
masyarakat Batak Toba. Di samping itu, Makalah Penelitian ini disusun untuk
melengkapi syarat tugas Hukum Kekerabatan dan Perjanjian Adat.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah untuk selanjutnya diteliti dan dikemukakan dalam makalah dari
masyarakat adat Batak Toba, yaitu :
1) Bagaimana penerapan hukum perutangan
dalam masyarakat Batak Toba?
2) Bagaimana hukum perutangan untuk
tanah dan uang dalam masyarakat adat Batak Toba?
1.4 Metode
Pengumpulan Data
Data
yang dikemukakan dalam Makalah Penelitian ini diperoleh melalui berbagai cara.
Pertama, dengan mencari nara sumber tokoh masyarakat Batak Toba dan melakukan
wawancara. Di samping itu, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya
dengan Hukum Adat khususnya Hukum Perutangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Hukum Perutangan dalam
Masyarakat Batak Toba
Dalam bahasa Batak hutang dan
piutang dikenal dengan istilah utang-singir
dalam arti sempit yaitu hukum tentang utang piutang, dan pardabu-dabuan dalam arti yang luas
yaitu mengenai hukum yang dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa.
1) Tata
cara membuat perjanjian utang piutang sesuai dengan hukum perutangan dalam
hukum adat masyarakat Batak Toba
Tempat yang paling tepat untuk
membicarakan suatu perjanjian utang piutang di masyarakat Batak Toba adalah partungkoan di huta (pelataran di bawah
naungan pohon tua di desa) atau lapo
(kedai makanan) yang ada disekitar desa. Setelah membicarakan mengenai
perjanjian yang akan dilakukan terutama mengenai utang piutang agar sah harus
dirundingkan dan ditutup sesuai denga adat (di
bagasan adat). Pihak yang ingin berhutang mengundang pihak pemberi hutang
untuk makan malam di rumah pihak yang ingin berhutang dan disaksikan kepala
kampung. Kepala kampung wajib diundang dan hadir apabila menyangkut
perjanjian-perjanjian yang penting termasuk utang piutang. Kepala kampung juga
dapat memberitahukan mengenai hal-hal yang dirasakan janggal dalam perjanjian
utang piutang tersebut. Apabila kepala kampung tidak memberitahukannya, kepala
kampung dapat dimintakan ikut menanggung kerugian yang timbul dari perjanjian
tersebut.
Apabila timbul sengketa dari
perjanjian yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum adat, dimana
perjanjian tidak disaksikan kepala kampung dan dilakukan bukan di rumah, maka
sengketa yg diajukan ke pengadilan Hakim tidak akan mendukung atas perjanjian
yang dilakukan. Seperti dalam umpama Batak : “Padan sidua-dua atik beha patolu begu,padan sitolu-tolu paopat jolma” perjanjian
yang dilakukan hanya berdua sebagai pihak ketiganya adalah setan, tetapi
perjanjian yang disaksikan pihak ketiga maka perjanjian tersebut sah.
Setelah membicarakan mengenai
perjanjian utang piutang maka dalam perjanjian tersebut selanjutnya dibantu
oleh na mambege hata (seorang saksi). Na mambege hata adalah pihak ketiga sebagai
saksi dari perjanjian tersebut yang mendengar jalannya pembicaraan para pihak,
membantu para pihak mencapai kesepakatan, dan mengetahui isi perjanjian utang
piutang. Atas jasanya itu, na mambege
hata memperoleh siingot-ingot atau
ingot-ingot (uang untuk jasa sebagai
saksi).
Selain kepala kampung dan na mambege hata (seorang saksi) ada juga
pihak yang membantu mengenai perjanjian utang piutang antara para pihak yaitu domu-domu (pihak ketiga yang membantu). Domu-domu membantu para pihak yang
mengadakan perjanjian utang piutang mengenai cara pembayaran utang, syarat-syarat
mengenai perjanjian utang piutang, dan manola
(menyelesaikan masalah untuk mencapai kesepakatan). Domu-domu menerima upa
domu-domu (jasa domu-domu) untuk partisipasinya sebagai pihak ketiga yang
membantu para pihak. Upa domu-domu (jasa
domu-domu) diberikan oleh para pihak dan besarnya upa domu-domu ditentukan oleh para pihak.
Objek dalam perjanjian utang piutang
dalam masyarakat Batak Toba, meliputi :
a) Tanah;
b) Uang;
c) Guguan
(sumbangan untuk upacara bersama)
dihutang menurut ukuran beras dan padi;
d) Ternak;
e) Alat-alat pertanian;
f) Emas-permata;
g) Perkakas rumah tangga.
Dalam masyarakat adat Batak Toba,
tata cara mengadakan perjanjian untuk objek-objek dalam hutang perutangan
berbeda-beda. Adapaun tata cara mengadakan perjanjiannya adalah sebagai berikut
:
a.
Tanah
Biasanya dalam masyarakat adat Batak Toba, tanah tidak dapat
dijual. Sehingga, untuk melunasi hutang piutang yang timbul dari hutang judi
yang jumlahnya besar, tanah tersebut dialihkan untuk selamanya dan tanah dapat
dijadikan sebagai jaminan atas hutang yang timbul.
Adanya formalitas adat dalam mengadakan perjanjian
perutangan agar diakui sah. Keikut sertaan kepala kampung yang diundang untuk
datang ke rumah pihak yang ingin berutang adalah sangat penting dan paling
utama dalam formalitas adat. Kepala kampung mempunyai kewajiban untuk
mengetahui status tanah yang akan dipinjamkan atau sebagai jaminan dalam hutang
piutang apakah tanah tersebut sudah dibebani hutang sebagai jaminan. Apabila
terjadi sengketa dari perjanjian utang piutang tersebut kepala kampung
berkewajiban sebagai penegah.
b.
Uang
Masyarakat Batak Toba biasanya meminjam uang dengan marsoli (pinjaman tanpa bunga) dan manganahi (pinjaman dengan bunga).
Adanya formalitas adat agar perjanjian sah, harus dirundingkan dengan adat dan
ditutup dengan adat (dibagasan adat).
Salah satu bagian formalitas adat yang paling penting adalah dimana pihak yang berutang mengundang pihak peminjam
untuk makan malam dan disaksikan oleh kepala kampung.
Utang yang timbul tidak hanya dari meminjam uang kepada
seseorang tetapi utang uang juga dapat timbul pada saat penerimaan tanda saut (tanda jadi) pada saat
pertunangan, dan calon mempelai perempuan yang sudah menerima tanda saut (tanda jadi) tidak boleh
berhubungan dengan laki-laki lain yang disebut sebagai ni oro ni hepeng. Secara otomatis calon mempelai perempuan mempunyai
utang tanda saut (tanda jadi) kepada
calon mempelai laki-laki, dan membayarnya apabila calon mempelai perempuan
membatalkan pertunangan. Calon mempelai laki-laki saling menukarkan tanda burju, yang kemudian pada saat
melangsungkan pernikahan memberikan ulos
hela (ulos batak untuk hela) dari mertua perempuan. Adanya formalitas adat,
dimana parboru (keluarga mempelai
perempuan) mengadakan makan bersama dengan paranak
(keluarga mempelai laki-laki). Untuk membicarakan mengenai pertunangan dan
perkawinan parboru (keluarga mempelai
perempuan) dengan paranak (keluarga
mempelai laki-laki) dibantu oleh domu-domu
(pihak ketiga yang membantu). Domu-domu
membantu mengenai besarnya tanda saut
(tanda jadi) dan besarnya tuhor boru
(mahar mempelai perempuan), dan untuk itu domu-domu
menerima upa domu-domu (imbalan untuk
domu-domu).
Apabila keluarga calon mempelai perempuan membatalkan
pertunangan, tanda saut ni hepeng (tanda
jadi uang) harus dikembalikan kepada keluarga calon mempelai laki-laki, dan
pada saat suami meninggal dunia parboru (keluarga
perempuan) membayarkan patilaho (sejumlah
uang kecil) kepada paranak (keluarga
laki-laki). Dengan diterimanya patilaho, perempuan
tersebut dapat bebas dari keluarga mempelai laki-laki.
c.
Guguan (sumbangan untuk upacara bersama)
dihutang menurut ukuran beras dan padi)
Sama halnya seperti perjanjian utang piutang tanah dan uang,
guguam juga harus dilaksanakan dengan
formalitas adat. Guguan (sumbangan
panen) diberikan masyarakat adat Batak Toba yang mempunyai sawah atau kebun
dengan memberikan hasil panen dari sawah dan kebun mereka untuk upacara adat
panen dan untuk gereja. Apabila hasil panen yang diperoleh tidak cukup untuk
diberikan guguan, maka guguan dapat diutang dengan denda berupa
uang, ternak, dan padi.
d.
Ternak
Ternak seperti kerbau yang dipinjam untuk membajak sawah dan
ternak tidak dapat dijadikan sebagai jaminan untuk membayar hutang. Untuk
ternak dikenal dikenal dengan istilah bagi-laba,karena tidak dapat diperoleh
untung setiap hari dari ternak tersebut. Pada umumnya, yang diternakkan adalah
babi, kuda, dan kerbau. Pemilik ternak parmahanhon
(memberikan ternaknya untuk dipelihara orang lain), sedangkan yang
memelihara ternak mamahani.
Masyarakat Batak Toba di Samosir memberikan sanghae
(upah) seperempat dari anak ternak yang dipamahan
(yang memelihara ternak); masyarakat Batak Toba di Balige memberikan upah
seekor anak ternak dari ternak yang dipahan
(yang memelihara ternak).
e.
Alat-alat
pertanian
Masyarakat Batak Toba yang ekonominya kurang mampu, biasanya
meminjam alat-alat pertanian yang harganya mahal dan tidak mampu untuk dibeli.
Biasanya dibayar dengan hasil panen sawah mereka yang jumlahnya tidak
ditentukan pemilik alat-alat pertanian. Alat-alat pertanian yang nilainya mahal
dan nilainya yang kecil dapat digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian hutang
piutang, sebagai tanda bahwa adanya hutang kepada pemberi hutang.
f.
Emas-permata
Sebagaimana dalam objek perhutangan dalam masyarakat adat
yang telah dijelaskan di atas, setiap perjanjian utang piutang yang dilakukan
para pihak harus mengikuti dan melaksanakan formalitas adat. Mengadakan
perjanjian perutangan agar diakui sah. Keikut sertaan kepala kampung yang
diundang untuk datang ke rumah pihak yang ingin berutang adalah sangat penting
dan paling utama dalam formalitas adat. Apabila jumlah hutangnya besar,
emas-permata dapat digunakan sebagai jaminan.
g.
Perkakas
rumah tangga
Perkakas rumah tangga yang nilainya tidak sebanding dengan
jumlah hutang dapat dijadikan sebagai jaminan atas perjanjian utang piutang.
Perkakas rumah tangga sebagai jaminan adanya hutang yang diketahui oleh
masyarakat sekitarnya kepada pemberi hutang dengan melihat jaminan tersebut.
Biasanya masyarakat Batak Toba tidak suka melihat barang miliknya dengan jangka
waktu yang lama dikuasai oleh orang lain walaupun nilai barang tersebut kecil.
2) Hal-hal
yang harus ditaati dalam hukum adat masyrakat adat Batak Toba mengenai hukum
perutangan
Para pihak yang membuat perjanjian utang piutang harus
memenuhi kontrak sebagaimana isi dari perjanjian yang mereka buat dan sepakati.
Seperti peribahasa dalam masyarakat Batak Toba : “hori ihot ni doton,padan siingoton” yang artinya setiap janji harus
dipenuhi. Perjanjian mengenai utang piutang yang dibuat par pihak memuat
mengenai besarnya utang, jaminan, bunga atas utang tersebut, cara pelunasan,
waktu pembayaran, dan sanksinya.
Terkadang orang yang berhutang mengelak untuk membicarakan
mengenai hutangnya kepada pihak yang pemberi hutang; dan menunggu sampai
kreditur mendesak pembayarannya (martunggu).
Martunggu singgir (mendesak
membayar), merupakan peristiwa cukup penting bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Martunggu singgir (mendesak membayar)
tidak dapat dilakukan secara sembarangan, atau pada waktu yang tidak tepat.
Penagihan hutang dengan martunggu singgir
tidak dapat dilakukan pada malam hari, harus memilih kata-kata yang tepat untuk
menagih hutang dan mendatangi langsung debitur. Serperti peribahasa dalam
masyarakat Batak Toba : “ansimun na
martangan ama ni mandulo, ia I donganmu marpadan, tusi ma ho uso-uso” yang
artinya orang yang memberi janji kepada kita, kepada dialah kita menagihnya.
Karena masyarakat adat Batak Toba menghormati adat parsingiron (cara yang tepat untuk menangih hutang).
Hutang harus dibayarkan kepada kreditur, bukan kepada pihak
yang menyatakan berhak menerima pembayaran tersebut. Orang yang menggadaikan
tanah tanah dan kemudian ingin menebus kembali tanah yang digadaikannya, dia
harus membayar uang yang diterima atas tanah yang digadaikannya kepada penerima
gadai dan bukan kepada pihak lain penerima gadai dari penerima gadai pertama.
Barang yang dipinjam harus dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan. Seperti
peribahasa dalam masyarakat Batak Toba : “
Tabo-tabo sitarapullak, sian i dijalo tusi dipaulak” yang artinya dari
siapa sesuatu diterima, kepadanya pula harus dikembalikan.
Setiap sengketa yang timbul dari perjanjian utang piutang
yang dibuat para pihak harus lebih dahulu meminta pendapat pengadilan Hukum
Adat untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak.
3) Tata
cara penyelesaian pelunasan hutang dalam masyarakat Batak Toba
Dalam hal penyelesaian pelunasan hutang dalam masyarakat
Batak Toba dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan hukum adat dan
rasa kekeluargaan, yaitu :
a. Meminta pelunasan hutang dengan
kemurahan hati
Masyarakat Batak Toba masih lebih menjunjung rasa
kekeluargaan dan toleransi antar sesamanya, termasuk dalam hal pelunasan
hutang. Seseorang yang memberi hutang akan bersikap sabar jika orang yang
berutang belum mampu atau bahkan tidak mampu membayar hutangnya. Orang yang
belum mampu membayar hutangnya akan dilihat kondisi dan alasan belum melunasi
hutangnya. Apabila orang yang berhutang sakit parah, usaha orang yang berhutang
gagal, atau gagal panen.
Keturunan dari seseorang yang meninggal dunia dan mengetahui
bahwa hutang yang ditinggalkan mendiang orang tuanya cukup besar, akan
mengundang kreditur untuk makan ke rumahnya dengan maksud merundingkan
bagaimana pelunasan hutang tersebut. Apabila keturannya tidak mampu membayar
hutang yang ditinggalkan orang tuanya, akan mangelek-elek
(membujuk) dengan memohon kemurahan hati orang yang memberi hutang. Kepala
kampung yang mengetahui dan diundang akan membantu membujuk pemberi hutang.
Kreditur biasanya akan menerima elek-elek (bujukan) dengan ketidak mampuan para pihak untuk
membayar hutang akan sia-sia jika dipaksa untuk membayar, dan masyarakat adat
Batak Toba yang menghormati adat
parsingiron (cara yang tepat untuk menagih hutang).
b. Membayar hutang dengan bekerja
kepada pihak pemberi hutang
Biasanya membayar hutang dengan bekerja kepada pihak pemberi
hutang karena ketidakmampuan membayar hutang yang jumlahnya besar. Parutang ginomgom (orang yang berutang
dibawah penguasaan pihak pemberi hutang) dengan bekerja untuk melunasi
hutangnya. Jolma mandingding (orang
yang kekampung pemberi hutang) dengan bekerja sesuai dengan yang diperintahkan pemberi hutang sampai
hutangnya lunas.
c. Membayar hutang kepada pangamai (pemberi jaminan)
Jaminan biasanya diberikan pihak yang berhutang kepada pihak
pemberi hutang sebagai itikad baik dan pernyataan bahwa mempunyai hutang.
Masuknya pihak ketiga sebagai pagamai
(penjamin) dari orang yang berhutang dan yang akan mengawasinya jangan sampai
melanggar hukum adat yang ada. Penjamin biasanya manaon (memikul) beban hutang dari orang yang berhutang dan
mempunyai kewajiban membayar hutang pihak yang berhutang. Seperti peribahasa
masyarakat Batak Toba : “Ripak-ripak ni
saung, aos-aos ni ansuan, ia olo na manggarar utang” yang artinya barang
siapa yang menawarkan diri sebagai penjamin, harus sudah siap membayar hutang.
Setelah penjamin membayar hutang,orang yang berhutang kemudian bertanggung
jawab kepada penjamin tersebut.
1.2
Hukum perutangan untuk tanah dan
uang dalam hukum adat masyarakat Batak
Toba
1. Tanah
Tanah dapat dipakai sebagai objek
dalam perjanjian utang piutang, dimana tanah dapat diapakai sebagai jaminan (manggadehon) atau dijual utang melunasi
hutang yang jumlahnya sangat besar. Manombahon
(memohon) agar sebidang tanahnya dibeli untuk melunasi hutangnya yang
jumlahnya cukup besar dibandingkan dengan nilai tanahnya. Untuk tanah sebagai
objek jaminan dalam perjanjian hutang piutang, kepala kampung wajib
mengetahuinya dan mengawasi atas tanah tersebut.
Biasanya tanah dijadikan sebagai
jaminan atas hutang uang dan sebagai pembayaran perkawinan anak laki-laki (pangolihon anak). Tanah yang digunakan
sebagai objek jaminan hutang dapat tetap berada di tangan orang yang berhutang
(tahan ni hepeng atau daga-daga) atau ditangan orang yang memberi hutang (sindor atau gade). Borot (jaminan) berupa tanah
yang berada di tangan orang yang berhutang dapat diambil oleh orang pemberi
hutang apabila tidak melakukan kewajibannya untuk melunasi hutang. Kreditur
dapat memperoleh kembali uangnya dengan cara menggadaikan kembali tanah
tersebut kepada pihak ketiga, menyerahkan kepada orang lain untuk digarap
berdasarkan bagi hasil, atau mengambilnya untuk digunakan sendiri sampai orang
yang berhutang menebusnya kembali.
Sebidang
tanah yang sudah digadaikan tidak dapat ditebus dengan sepotong-potong. Martobus (penebusan) setelah dua tahun
dan setelah habis panen. Jika memperlukan uang lagi, orang yang berhutang dapat
meminjam uang lagi kepada pemberi hutang dan sekaligus pemegang jaminan tanah
dengan manggodangi (memperbanyak)
nilai pinjaman yang dibebankan atas tanah. Apabila orang yang berhutang meninggal dunia,
anaknya mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan hutang dimana tanah yang telah
digadaikan, dan sebaliknya apabila orang yang memberikan hutang meninggal
dunia, anaknya dapat menagih hutang dan mempunyai hak atas tanah gadai
tersebut.
2. Uang
Adanya peminjaman uang dalam
masyarakat Batak Toba adalah dari hutang judi, perdagangan ternak, penyelesaian
pembayaran tuhor ni boru (mahar
mempelao perempuan), dan denda. Bentuk meminjam uang dapat dilakukan dengan marsali (meminjam uang tanpa sesuatu kewajiban
membayar bunga) dan manganahi (meminjam
uang dengan kewajiban membayar bunga). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
mengenai tata cara peminjaman uang dengan formalitas adat batak agar dinyatakan
sah.
Marsali (meminjam uang tanpa sesuatu
kewajiban membayar bunga) biasanya diberikan oleh pemberi hutang karena orang
yang berhutang memberikan jaminan, dan dapat ditebus sebagai pembayaran suatu
hutang uang. Jika tidak ada bunga dari uang yang dipinjamkan, orang yang
memberi hutang biasanya meminta biaya-biaya seperti ongkos-ongkos yang
dikeluarkannya untuk menangih hutang (nasa
haboratan laho manjalo).
Manganahi
(meminjam uang dengan kewajiban
membayar bunga) biasanya bunga atas hutang tersebut 20%, 30%, atau bahkan 40%
selama setahun, dan kadang-kadang bunganya lebih tinggi. Meminjamkan uang
dengan bunga biasanya dilakukan karena tidak adanya jaminan berupa barang berharga
oleh orang yang berhutang atau mengenakan bunga jika tujuan peminjaman uang
digunakan untuk dagang. Bunga dibayarkan dapat dibayarkan dalam bentuk padi dan
bukan uang, dan dibayarkan setiap bulan.
Dapat dilakukan pemindahan hak (legot) atas persetujuan pemberi hutang,
dimana orang yang berhutang sudah mengenal pemberi hutang yang baru (pajumola).
Pelunasan hutang uang dapat
dilakukan dengan kemurahan hati (asi ni
roha) dengan mangalaplap
(menghapuskan sebagian besar hutang uang). Apabila orang yang berhutang sudah
meninggal dunia, hutang dari orang yang meninggal tersebut menjadi tamggung
jawab anaknya. Pelunasan hutang dapat dilakukan dengan terter (pembayaran dengan tunai) dan dengan manopihi (melunasi dengan menyicil).
BAB III
PENUTUP
Dalam masyarakat Batak Toba masih
menjunjung formalitas adat dalam melakukan suatu perjanjian termasuk perjanjian
utang piutang agar perjanjian tersebut sah. Tempat dilaksanakannya perjanjian
hutang piutang, pihak ketiga yang menjadi saksi dan kepala kampung yang wajib
harus mengikuti dan mengetahui perjanjian yang dibuat para pihak. Bentuk dari
objek-objek perutangan dalam hukum adat masyarakat Batak Toba mempunyai
kriteria dan tata cara yang berbeda-beda untuk melakukan perjanjian utang
piutang atas objek-objek tersebut.
Pelunasan hutang dilakukan dalan
bentuk kekeluargaan dan masih mengahormati adat
parsingiron (cara yang tepat untuk menagih hutang) dan sengketa yang timbul
dari perjanjian yang dibuat para pihak meminta pendapat dari pengadilan Hukum
Adat.
Dari penmbahasan dapat diambil kesimpulan bahwa
masyarakat adat Batak Toba masih lebih mengarah kepada Hukum Perutangan Sosial
dengan tolong-menolong, kekeluargaan, dan tidak mengambil keuntungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar