Rumah
Papan dan Rumah Megah Sama-Sama Rumah Na linggom
Rumah
Papan Jadi Saksi
Bapakku
bernama Manerep Manalu, lahir dan besar di Aek Bingke sebuah desa di Kabupaten
Mandailing Natal. Ibuku bernama Rosita Pasaribu, lahir dan besar di Dolok
Saribu sebuah desa di Kecamatan Pagaran,Kabupaten Tapanuli Utara. Anak muda dan
gadis muda yang sama-sama berjuang menuntut ilmu di Kota Tarutung. Dalam
tradisi Batak ada istilah “Pariban”, orangtuaku kebetulan dari silsilah marga marpariban.
Takdir
mempertemukan mereka untuk tinggal kost di rumah saudara mereka di Tarutung.
Bapak sekolah di STM Panjur dan Mamak sekolah di Sekolah Pendidikan Guru.
Berjodoh, mungkin itulah kata yang tepat untuk mereka. Tinggal bersama di rumah
saudara membuat mereka saling mengenal satu sama lain, dan berjuang bersama
untuk menyelesaikan pendidikan mereka. Dari masa-masa sulit mereka sudah
berjuang bersama, berjuang untuk masuk Pegawai Negeri Sipil. Mereka mengikat janji
suci tahun 1983, dan tinggal di rumah kontrakan dari papan yang kecil dan
sempit. Melahirkan dan membesarkan 3 orang putri dan 2 orang putra di rumah
papan yang sederhana. Rumah papan jadi saksi perjuangan mereka membangun rumah
tangga yang sederhana dan bahagia.
Masa
Kecilku di Rumah Papan
Terdengar
suara tertawa bahagia dari rumah papan yang sederhana, mereka menyebutnya rumah
petak. Ya, karena susunannya petak yang terdiri dari 4 rumah dan satu dinding
antara satu rumah dengan rumah lainnya. Aku bahagia tinggal di rumah sederhana,
karena aku tidak mengenal apa itu rumah mewah dan orang kaya. Bagiku rumah
sama-sama memberikan perlindungan dari panas dan hujan. Rumah sederhana itu
hanya terdiri dari dua kamar tidur, aku, abang, dan kakakku berbagi kamar tidur
yang sama. Kami bahagia, karena kami bisa menatap wajah satu sama lain dan
tertawa bersama.
Tiap
mandi kami selalu olahraga dengan menimba air di sumur di kamar mandi, teringat
tiap kali ember kecil bertali jatuh ke dalam sumur, susah payah aku mengambilnya
dari sumur dengan badanku yang kecil. Kak…!! Teriakku dari kamar mandi meminta
bantuannya untuk mengambil ember dari sumur. Sering kali dia kesal tiap kali
aku menjatuhkan ember di dalam sumur.
Pagi
yang cerah selalu ku sambut dengan mamakku yang selalu bangun terlebih dahulu,
maklum aku masih anak bungsu sampai usiaku 13 tahun. Sering kali, aku masih
tidur bersama bapak dan mama. Masa-masa kecilku yang paling indah dan tak
terlupakan. Aku selalu memperhatikan mamak yang selalu memasak, dan sering kali
aku membantu walaupun terkadang tidak membantu. Bagaimana dengan abang kakakku?
Jangan pikir mereka masih tertidur pulas. Mereka sudah siap dengan tugas mereka
masing-masing yang sudah ditempel dibelakang pintu dapur. Ya, semua terjadwal
dan teratur dengan tugas masing-masing.
Halaman
belakang rumah yang masih kosong kami manfaatkan dengan membuat kandang untuk
berternak babi, istilah Batak marpinahan.
Aku dan saudara-saudaraku sangat mahir soal beternak babi. Kami tau persis
bagaimana makanan yang bagus untuk hewan peliharaan kami ini, dan memandikannya
mungkin sudah kami anggap seperti bermain.
Tangan
ini sudah terbiasa dengan bau ampas yang dicampur dengan makanan sisa yang
sudah dimasak dan dicampur dengan daun talas dan daun ubi jalar yang sudah dicincang,semua
dijadikan satu. Bermain game di komputer? Sangat asing buat kami, ya kami tidak
mengenal permainan game online yang
sudah terbiasa dengan anak-anak sekarang. Kami hanya mengenal bermain
masak-masak atau marampang-ampang,
marsitekka, dan marpetak umpet. Itupun
kami mainkan setelah pekerjaan kami sudah selesai.
Getah
daun talas sudah terbiasa jadi hiasan di tangan ini, dengan ligat aku tau
persis bagaimana memotong batang daun talas dari batangnya. Sudah terbiasa aku
memotong semuanya dengan parang andalanku
untuk dimasak di tong besar. Kulitku sudah terbiasa terkena panasnya kayu bakar
yang memasak makanan untuk pinahan
kami. Masih teringat mamak setiap pulang ke rumah, hal yang pertama ditanya “nga mangan pinahan ta?” sudah dikasih
makan babi? Mungkin bagi orang yang membaca atau mendengarnya akan tertawa, kok
yang ditanya deluan malah ternaknya bukan anaknya. Bagi kami itu sudah biasa,
karena buat mamak kami anak-anak mandiri dan mempunyai anggota tubuh yang
lengkap, sudah pasti bisa mengambil makanan sendiri.
Hal
yang paling lucu buatku, saat pinahan
lepas dari kandangnya. Semua akan heboh untuk menangkap pinahan yang lepas. Masing-masing membuat strategi untuk menangkap,
mulai dari membuat makannya di luar , sampai pinahan mulai jinak, dan kemudian ramai-ramai menangkapnya. Satu
lagi yang membuat tempat kami jadi pusat perhatian anak-anak disekitar rumah,
saat pinahan akan dijual. Pembeli pinahan akan datang ke tempatnya
langsung lengkap dengan alat-alatnya. Pinahan
diikat dan ditimbang, merintih dan
meraung-raung suara pinahan
seolah-olah tau dia akan dijual di tempat pemotongan babi.
Mamak
selalu bilang “dang boi hamu marsikkola
molo so alani marpinahan hita (kalian tidak bisa sekolah klo bukan karena
beternak babi)”, ini salah satu alasan kami tidak pernah malu dan
bersungut-sungut beternak babi. Kadang pertanyaan itu muncul, bagaimana mungkin
bapak mamakku yang sama-sama PNS tidak punya uang membiayakan kami. Sekarang,
aku menemukan jawabannya bukan dari mamakku langsung. Bayangkan saja gaji PNS
untuk dibagi-bagi biaya 4 orang anak yang sekolah di sekolah swasta, belum lagi
untuk biaya kontrak rumah, dan biaya sehari-hari. Ya, kami diberikan pendidikan
yang terbaik dengan disekolahkan di salah satu sekolah Swasta Santa Maria, yang
“katanya” pada saat itu sekolahnya bagus.
Membanggakan,
menurutku kami semua membanggakan. Kami bisa mengikuti pelajaran di sekolah,
walapun waktu kami terbagi dengan beternak pinahan.
Kami tidak pernah ketinggalan, bahkan kami bisa masuk 10 besar. Wajarlah, mamak
seorang guru yang selalu mendidik kami, mengawasi kami setiap belajar dengan
senjata ampuhnya sejumlah lidi yang sudah terikat kuat. Kapan saja bisa
membekas di betis klo sudah ngantuk sebelum jam 10 malam, semua sudah terjadwal
waktu untuk belajar dan istirahat malam.
Beranjak
Remaja Masih di Rumah Papan
Sekarang
aku sudah masuk SMP, aku memilih untuk masuk di sekolah negeri tepatnya SMP
Negeri 2 Tarutung. Jenjang baru dan rumah baru. Rumah baru, kebanyakan orang
bayangkan rumah baru pasti lebih bagus dari sebelumnya. Rumah baru kami masih
seperti rumah kami sebelumnya, rumah berdinding papan, sempit, bedanya hanya
kamar tidurnya tidak lagi 2 kamar tidur, sekarang sudah ada 3 kamar tidur,
tetap masih berbagi kamar mandi, dan tetap di rumah petak yang masih dikontrak.
Dengan
semangat baru, rumah baru, dan jenjang pendidikan yang baru. Pagi itu kami
bersiap ke sekolah, dengan sekolah yang sudah berbeda. Kaki ini berjalan
berpacu seakan-akan berlomba dengan roda-roda motor dan mobil. Terbiasa dengan
kedua kaki ini, aku tidak pernah mengeluh. Pekerjaan rumah sekarang sudah lebih
berat dibandingkan aku SD dulu. Bukan saja rumah baru, tapi juga bakal dapat
adek lagi. Ya, setelah 13 tahun merasakan pahit, manis, dan dimanja menjadi
anak bungsu atau siampudan, aku akan
mendapat adek kecil. Bukan diadopsi atau anak saudara. Ini adek dari rahim
mamakku.
Masih
teringat mamak mual-mual di kamar mandi, ada hal-hal aneh yang mamak minta, dan
sekarang aku baru tau klo istilah populernya ngidam. Perut mamak membesar, tapi
mamak mikirnya itu perut buncit karena banyak makan. Wajarlah mamak ngak merasa
hamil, karena mamak terbiasa dengan pil KB andalannya. Berkat, dorongan dan
semangat kuat dari bapak, akhirnya mamak mau periksa ke RSUD Tarutung. Dengan
pelan-pelan mamak turun dari anak tangga rumah sakit sambil mengelus lembut
perutnya. Menurutku aneh, karena aku
belum tau hasilnya. Ternyata mamak positif hamil dan usia kandungannya sudah 6
bulan. Luar biasa, awalnya perut buncit ternyata adek bayi dalam perut mamak.
Dengan
malu-malu mamak menunjukkan foto hasil USGnya kepada kami, dan dengan malu
kakak yang sudah SMA harus punya adek bayi lagi. Sekarang aku sudah bisa
bayangkan apa yang ada dipikiran anak SMA klo teman-temannya tau bakal punya
adek bayi, ada olok-olokan lucu dari teman-teman. Macam-macam, bisa jadi olokan
teman-temanmu seperti: Bapakmu masih perkasa, masih topcer, atau seharusnya
mamakmu sudah lebih pantas punya cucu bukan anak.
Mulai
terbiasa dengan kandungan mamak, mulai terbiasa buatin susu mamak biar adek
sehat katanya, mulai terbiasa dengan mamak yang suka dandan, mulai terbiasa
mamak ngak suka lihat yang aneh-aneh, dan mulai terbiasa dengan mamak yang
manja. Dan terjawab sudah, ternyata adekku perempuan. Pantas mamak pas hamil
kelakuannya seperti itu.
Ada
pelajaran beharga yang kudapat dari proses persalinana mamak.Aku akan mencari
sosok pendamping hidup seperti bapak. Bapak yang sangar, ternyata berhati
lembut dan penuh kasih sayang kepada istrinya. Masih teringat jelas, perjuangan
mamak di usianya yang tak lagi muda harus berjuang melahirkan anak dari
rahimnya. Perjuangan bapak yang menemani mamak, menyemangati mamak, dan
menemani mamak. Kami anak-anaknya hanya menunggu di luar kamar mamak. Kebetulan
mamak melahirkan di rumah papan andalan kami, dengan bidan andalan tentunya
yang sudah membantu persalinan kami berempat dan ibu-ibu lainnya. Mulai dari
jam 00.00 sampai jam 06.00 mamak berjuang melahirkan adek kami.
Dengan
telaten bapak membersihkan darah yang keluar, menemani mamak, merawat mamak. Sekarang
aku tau, betapa sayangnya bapak kepada mamak dan kami anak-anaknya. Pria mana
yang mau membersihkan darah yang keluar langsung dari bagian penting perempuan,
pria mana yang mau menggantikan pakaian dalamnya. Klopun ada, perempuan itu
sangat beruntung dan berterima kasihlah kepada Tuhan mendapatkan pendamping
hidup seperti itu.
Masa-masa
remajaku tidak seperti kebanyakan remaja pada umumnya, ada tanggung jawab lebih
buatku. Tiap hari rabu dan sabtu, aku harus belanja ke pasar lengkap dengan
catatan yang harus ku beli buat kebutuhan di rumah. Setiap pagi jam 05.00,
bahkan terkadang 04.30 aku harus bangun
lebih awal untuk mempersiapkan makanan di rumah dan tepat waktu berangkat di
sekolah. Sepulang sekolah, aku harus bergegas pulang ke sekolah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Tumpukan
baju yang siap untuk dicuci dan disetrika sudah menunggu di rumah, dan memasak
untuk makanan di rumah. Tidak heran klo banyak mengakui masakanku enak, karena
aku sudah terbiasa dengan bumbu-bumbu, alat-alat masak di dapur sejak aku
SMP,kawan!
Aku
tidak pernah ketinggalan, bukan ketinggalan soal model atau pergaulan. Tapi ini
soal prestasi di sekolah. Walaupun dengan pekerjaan rumah yang banyak, aku bisa
meraih Peringkat I di kelas, masuk kelas unggulan, dan bertahan di kelas
unggulan sampai aku lulus SMP. Aku sudah terbiasa dengan tanpa rasa malu untuk
sekedar singgah di tempat yang jadi tempat persinggahan turis-turis. Dengan
bahasa Inggris yang pas-pasan, dan rasa percaya diri yang tinggi memulai
percakapanku dengan turis-turis tersebut. Diujung percakapan kami yang singkat,
tidak lupa aku meminta foto sama, dengaan kamera mereka yang canggih, dan
berharap foto dan sapaan mereka kirim dengan alamat yang sudah lengkap ku tulis
di kertas mereka. Tidak sedikit dari mereka yang mengirim surat dan menyelipkan foto kami, dan bahkan ada yang
mengirim dollar atau hiasan.
Masuk
SMA Plus impianku sejak aku duduk di bangku SD, salah satu alasannya rasa
penasaran karena kakakku yang juara di kelasnya tidak lulus SMA Plus. Persiapanku
sudah lama, dan puji Tuhan aku lulus di SMA Plus Matauli. Kaget,senang, dan
bangga aku bisa lulus. Sekali lagi, rumah papan ini jadi saksi perjuanganku.
Ada
berapa banyak orang yang malu dengan kondisi ekonomi yang menengah ke bawah
menjadi alasan mereka mengaku orang kaya, membuat cerita dengan berbagai macam
kemewahan untuk mendapat pengakuan sosial. Tapi tidak dengan aku, aku tidak
pernah malu membawa temanku untuk bermain atau bahkan menginap di rumah kami
yang sangat sederhana. Bagiku, untuk mendapatkan teman aku tidak perlu
berbohong status sosialku mendapatkan pengakuan sosial.
Rumah
Papan Na Linggom
Rumah
na linggom, buatku dan buat keluarga
rumah papan tempat kami tinggal adalah rumah na linggom. Bagi orang batak linggom
adalah rumah yang memberikan kenyamanan, rumah yang teduh. Rumah papan
tempat kami tinggal menjadi saksi banyaknya perjuangan hidup yang kami lewati,
dan banyak berkat yang kami terima.
Walaupun
rumah kami dari kapan, kami tidak pernah direpotkan dengan masalah bocor karena
hujan deras. Selalu menjadi tempat yang melindungi kami dari hujan dan panas.
Masih teringat jelas, rumah papan jadi saksi saat bapak menjadi camat dan
menjabat kepala perencanaan program Kabupaten Tapanuli Utara. Sebagus apapun
jabatan bapak, kami tidak pernah malu tinggal di rumah papan yang sederhana.
Kami malu, jika kami harus tinggal di rumah mewah hasil korupsi.
Ya,
sekali lagi rumah papan ini jadi saksi kami memulai hidup dari bawah sampai
bapak menjadi seorang pejabat.
Rumah
papan berubah menjadi rumah berdinding beton megah
Sering kali aku melihat
rumah-rumah megah dan bagus di kota besar, sejak itu aku selalu bermimpi tidur
di rumah megah. Sekali lagi, Tuhan memeluk mimpiku dan mewujudkannya. Kali ini
bukan karena aku menikah dengan lelaki kaya raya, atau dapat hadiah undian
rumah mewah. Lebih tepatnya rumah orangtuaku dengan perjuangan mereka.
Aku
melihat gambar desain rumah di atas kertas, dengan kagum aku melihat rumah
megah itu. Imajinasiku mulai bermain membayangkan aku sudah tidur nyenyak di
rumah megah. Penuh perjuangan berpuluh-puluh tahun buat orangtuaku mewujudkan
rumah impian mereka. Terlambat? Tidak ada yang terlambat di dunia ini kawan,
selama kita masih merasakan nafas hidup, merasakan panas, dan merasakan
dinginnya malam.
Rumah
megah itu sekarang sudah berdiri megah di atas tanah, bukan di atas kertas.
Tidak henti-hentinya aku merasa kagum melihat rumah itu. Belum percaya rasanya
aku sudah tidur di kamar berndinding beton, mandi di kamar mandi yang berada di
kamarku, tidak perlu berbagi kamar mandi dengan keluargaku seperti di rumah
papan, dan melihat pemandangan dari balkon rumah. Bagiku ini sudah mewah,
karena aku sudah merasakan hidup sangat sederhana, berbagi kamar mandi, tidur
beralaskan tikar di depan TV. Bisakah kau bayangkan kawan? Bayangkan saja,
cukup aku yang merasakannya.
Rumah
papan dan rumah megah buat kami sama-sama rumah na lingom. Rumah megah tempat
tinggal kami sekarang, banyak memberikan berkat buat keluarga kami. Rumah megah
ini jadi saksi perjuangan keluarga mengantarkan bapak jadi salah satu calon
wakil kepala daerah Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2013 silam.
Banyak
yang kagum, dan tidak sedikit yang bertanya-tanya uang untuk membangun rumah
megah kami. Perlukah aku menjelaskannya? Ingat kawan, tak ada gunanya menjelaskannya
kepada orang iri dengan kehidupanmu karena itu akan sia-sia. Bagi mereka yang
iri dengan kehidupanmu, kau tak punya nilai positif. Aku hanya akan menjelaskan
bagi orang-orang yang ingin belajar dari perjuangan orangtuaku.
Perhitungan,
pelit, tidak pernah memakai barang-barang mewah bisa terlihat dari keluarga
kami. Masih ingat ceritaku kawan, sejak kecil kami sudah beternak babi untuk
menambah penghasilan orangtua, membantu biaya sekolah kami. Tidak hanya itu,
kami menggunakan lahan yang sedikit di tanggul sungai yang berada di sebrang
rumah kami, dan meminjam lahan kolam ikan orang yang berada dibelakang rumah.
Tidak pernah malu, saat aku menenteng canggul, menyebrangi jalan menuju lahan
yang sedikit. Ubi kayu dan ubi jalar jadi tanaman andalan mamak. Teringat
jelas, aku merengeng minta dibelikan mie sop saat maronan di pasar, dan dengan jurus jitunya mamak merayuku. Nanti
kita masak mie hun goring di rumah, biar makan sama nanti kita semua di rumah,
kata mamak. Buat mamak, hitung-hitungannya sangat jelas, dua porsi makanan di
rumah bisa buat 6 orang di rumah dengan masak sendiri. Luar biasa khan kawan!
Aku
sudah terbiasa diwarisi barang-barang dari kakak dan abangku. Sepatu dan
baju-baju adalah warisan mereka yang selalu aku tunggu-tunggu. Tak pernah malu,
karena aku memang tak mengenal gengsi. Kau tau kawan, seberapa tersiksanya
sepatu yang kami pakai saat harus dijahit di tukang sol sepatu. Berapa kali
sepatu itu harus dijahit agar dapat bertahan lama. Warnanya tetap awet, berkat
minyak goreng bekas yang dilap ke sepatu. Caranya gampang, bersihkan sepatumu
yang penuh debu, lapkan dengan minyak goreng bekas, bersihkan sampai ampuh.
Tiap 2 kali seminggu aku tidak pernah lupa mencuci sepatuku yang penuh bekas
jahitan.
Setiap
perjuangan selalu ada hasilnya, terkadang hasilnya datang cepat terkadang
disaat kita mulai putus asa. Seperti tertulis di Roma 4:4 “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak
diperhitungkan sebagai haknya”.Perjuangan mewujudkan rumah impian orangtuaku
menjadi salah satu pelajaran hidup buatku. Walaupun mereka harus merasakannya
di usia tua, tapi mereka bersyukur uang yang mereka kumpulkan tidak dari hasil
korupsi. Kawan, bapakku sudah pernah diperiksa karena salah satu pejabat di
Kabupaten Tapanuli Utara, belum lagi saat beliau mencalonkan sebagai calon
wakil kepala daerah Pilkada tahun 2013, hasilnya beliau dinyatakan bebas dan
bersih.
Kawan,
sejelek atau semegah apapun rumahmu sama-sama melindungi kita dari panas dan
hujan. Tergantung, dari cara mana kita memandangnya. Bersyukur, adalah kunci
yang paling penting dari hidup ini. Tak perlu malu jadi orang miskin atau orang
biasa-biasa, bergaya seperti orang kaya agar dapat pengakuan sosial. Ingat
kawan, semua yang kita miliki hanya sementara. Bagi Tuhan, tidak ada yang kaya
dan miskin. Allah yang punya segalanya, rela putraNya yang tunggal lahir di
kandang domba, bukan di tempat mewah. Itu artinya, DIA bersama-sama orang yang
tidak dipandang dari harta.
Tulisan sederhana dari : Serly Nova Manalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar