Selasa, 16 Februari 2016



Rumah Papan dan Rumah Megah Sama-Sama Rumah Na linggom

Rumah Papan Jadi Saksi
Bapakku bernama Manerep Manalu, lahir dan besar di Aek Bingke sebuah desa di Kabupaten Mandailing Natal. Ibuku bernama Rosita Pasaribu, lahir dan besar di Dolok Saribu sebuah desa di Kecamatan Pagaran,Kabupaten Tapanuli Utara. Anak muda dan gadis muda yang sama-sama berjuang menuntut ilmu di Kota Tarutung. Dalam tradisi Batak ada istilah “Pariban”, orangtuaku kebetulan dari silsilah marga marpariban.
Takdir mempertemukan mereka untuk tinggal kost di rumah saudara mereka di Tarutung. Bapak sekolah di STM Panjur dan Mamak sekolah di Sekolah Pendidikan Guru. Berjodoh, mungkin itulah kata yang tepat untuk mereka. Tinggal bersama di rumah saudara membuat mereka saling mengenal satu sama lain, dan berjuang bersama untuk menyelesaikan pendidikan mereka. Dari masa-masa sulit mereka sudah berjuang bersama, berjuang untuk masuk Pegawai Negeri Sipil. Mereka mengikat janji suci tahun 1983, dan tinggal di rumah kontrakan dari papan yang kecil dan sempit. Melahirkan dan membesarkan 3 orang putri dan 2 orang putra di rumah papan yang sederhana. Rumah papan jadi saksi perjuangan mereka membangun rumah tangga yang sederhana dan bahagia.
Masa Kecilku di Rumah Papan
Terdengar suara tertawa bahagia dari rumah papan yang sederhana, mereka menyebutnya rumah petak. Ya, karena susunannya petak yang terdiri dari 4 rumah dan satu dinding antara satu rumah dengan rumah lainnya. Aku bahagia tinggal di rumah sederhana, karena aku tidak mengenal apa itu rumah mewah dan orang kaya. Bagiku rumah sama-sama memberikan perlindungan dari panas dan hujan. Rumah sederhana itu hanya terdiri dari dua kamar tidur, aku, abang, dan kakakku berbagi kamar tidur yang sama. Kami bahagia, karena kami bisa menatap wajah satu sama lain dan tertawa bersama.
Tiap mandi kami selalu olahraga dengan menimba air di sumur di kamar mandi, teringat tiap kali ember kecil bertali jatuh ke dalam sumur, susah payah aku mengambilnya dari sumur dengan badanku yang kecil. Kak…!! Teriakku dari kamar mandi meminta bantuannya untuk mengambil ember dari sumur. Sering kali dia kesal tiap kali aku menjatuhkan ember di dalam sumur.
Pagi yang cerah selalu ku sambut dengan mamakku yang selalu bangun terlebih dahulu, maklum aku masih anak bungsu sampai usiaku 13 tahun. Sering kali, aku masih tidur bersama bapak dan mama. Masa-masa kecilku yang paling indah dan tak terlupakan. Aku selalu memperhatikan mamak yang selalu memasak, dan sering kali aku membantu walaupun terkadang tidak membantu. Bagaimana dengan abang kakakku? Jangan pikir mereka masih tertidur pulas. Mereka sudah siap dengan tugas mereka masing-masing yang sudah ditempel dibelakang pintu dapur. Ya, semua terjadwal dan teratur dengan tugas masing-masing.
Halaman belakang rumah yang masih kosong kami manfaatkan dengan membuat kandang untuk berternak babi, istilah Batak marpinahan. Aku dan saudara-saudaraku sangat mahir soal beternak babi. Kami tau persis bagaimana makanan yang bagus untuk hewan peliharaan kami ini, dan memandikannya mungkin sudah kami anggap seperti bermain.
Tangan ini sudah terbiasa dengan bau ampas yang dicampur dengan makanan sisa yang sudah dimasak dan dicampur dengan daun talas dan daun ubi jalar yang sudah dicincang,semua dijadikan satu. Bermain game di komputer? Sangat asing buat kami, ya kami tidak mengenal permainan game online yang sudah terbiasa dengan anak-anak sekarang. Kami hanya mengenal bermain masak-masak atau marampang-ampang, marsitekka, dan marpetak umpet. Itupun kami mainkan setelah pekerjaan kami sudah selesai.
Getah daun talas sudah terbiasa jadi hiasan di tangan ini, dengan ligat aku tau persis bagaimana memotong batang daun talas dari batangnya. Sudah terbiasa aku memotong semuanya dengan parang andalanku untuk dimasak di tong besar. Kulitku sudah terbiasa terkena panasnya kayu bakar yang memasak makanan untuk pinahan kami. Masih teringat mamak setiap pulang ke rumah, hal yang pertama ditanya “nga mangan pinahan ta?” sudah dikasih makan babi? Mungkin bagi orang yang membaca atau mendengarnya akan tertawa, kok yang ditanya deluan malah ternaknya bukan anaknya. Bagi kami itu sudah biasa, karena buat mamak kami anak-anak mandiri dan mempunyai anggota tubuh yang lengkap, sudah pasti bisa mengambil makanan sendiri.
Hal yang paling lucu buatku, saat pinahan lepas dari kandangnya. Semua akan heboh untuk menangkap pinahan yang lepas. Masing-masing membuat strategi untuk menangkap, mulai dari membuat makannya di luar , sampai pinahan mulai jinak, dan kemudian ramai-ramai menangkapnya. Satu lagi yang membuat tempat kami jadi pusat perhatian anak-anak disekitar rumah, saat pinahan akan dijual. Pembeli pinahan akan datang ke tempatnya langsung lengkap dengan alat-alatnya. Pinahan  diikat dan ditimbang, merintih dan meraung-raung suara pinahan seolah-olah tau dia akan dijual di tempat pemotongan babi.
Mamak selalu bilang “dang boi hamu marsikkola molo so alani marpinahan hita (kalian tidak bisa sekolah klo bukan karena beternak babi)”, ini salah satu alasan kami tidak pernah malu dan bersungut-sungut beternak babi. Kadang pertanyaan itu muncul, bagaimana mungkin bapak mamakku yang sama-sama PNS tidak punya uang membiayakan kami. Sekarang, aku menemukan jawabannya bukan dari mamakku langsung. Bayangkan saja gaji PNS untuk dibagi-bagi biaya 4 orang anak yang sekolah di sekolah swasta, belum lagi untuk biaya kontrak rumah, dan biaya sehari-hari. Ya, kami diberikan pendidikan yang terbaik dengan disekolahkan di salah satu sekolah Swasta Santa Maria, yang “katanya” pada saat itu sekolahnya bagus.
Membanggakan, menurutku kami semua membanggakan. Kami bisa mengikuti pelajaran di sekolah, walapun waktu kami terbagi dengan beternak pinahan. Kami tidak pernah ketinggalan, bahkan kami bisa masuk 10 besar. Wajarlah, mamak seorang guru yang selalu mendidik kami, mengawasi kami setiap belajar dengan senjata ampuhnya sejumlah lidi yang sudah terikat kuat. Kapan saja bisa membekas di betis klo sudah ngantuk sebelum jam 10 malam, semua sudah terjadwal waktu untuk belajar dan istirahat malam.
Beranjak Remaja Masih di Rumah Papan
Sekarang aku sudah masuk SMP, aku memilih untuk masuk di sekolah negeri tepatnya SMP Negeri 2 Tarutung. Jenjang baru dan rumah baru. Rumah baru, kebanyakan orang bayangkan rumah baru pasti lebih bagus dari sebelumnya. Rumah baru kami masih seperti rumah kami sebelumnya, rumah berdinding papan, sempit, bedanya hanya kamar tidurnya tidak lagi 2 kamar tidur, sekarang sudah ada 3 kamar tidur, tetap masih berbagi kamar mandi, dan tetap di rumah petak yang masih dikontrak.
Dengan semangat baru, rumah baru, dan jenjang pendidikan yang baru. Pagi itu kami bersiap ke sekolah, dengan sekolah yang sudah berbeda. Kaki ini berjalan berpacu seakan-akan berlomba dengan roda-roda motor dan mobil. Terbiasa dengan kedua kaki ini, aku tidak pernah mengeluh. Pekerjaan rumah sekarang sudah lebih berat dibandingkan aku SD dulu. Bukan saja rumah baru, tapi juga bakal dapat adek lagi. Ya, setelah 13 tahun merasakan pahit, manis, dan dimanja menjadi anak bungsu atau siampudan, aku akan mendapat adek kecil. Bukan diadopsi atau anak saudara. Ini adek dari rahim mamakku.
Masih teringat mamak mual-mual di kamar mandi, ada hal-hal aneh yang mamak minta, dan sekarang aku baru tau klo istilah populernya ngidam. Perut mamak membesar, tapi mamak mikirnya itu perut buncit karena banyak makan. Wajarlah mamak ngak merasa hamil, karena mamak terbiasa dengan pil KB andalannya. Berkat, dorongan dan semangat kuat dari bapak, akhirnya mamak mau periksa ke RSUD Tarutung. Dengan pelan-pelan mamak turun dari anak tangga rumah sakit sambil mengelus lembut perutnya.  Menurutku aneh, karena aku belum tau hasilnya. Ternyata mamak positif hamil dan usia kandungannya sudah 6 bulan. Luar biasa, awalnya perut buncit ternyata adek bayi dalam perut mamak.
Dengan malu-malu mamak menunjukkan foto hasil USGnya kepada kami, dan dengan malu kakak yang sudah SMA harus punya adek bayi lagi. Sekarang aku sudah bisa bayangkan apa yang ada dipikiran anak SMA klo teman-temannya tau bakal punya adek bayi, ada olok-olokan lucu dari teman-teman. Macam-macam, bisa jadi olokan teman-temanmu seperti: Bapakmu masih perkasa, masih topcer, atau seharusnya mamakmu sudah lebih pantas punya cucu bukan anak.
Mulai terbiasa dengan kandungan mamak, mulai terbiasa buatin susu mamak biar adek sehat katanya, mulai terbiasa dengan mamak yang suka dandan, mulai terbiasa mamak ngak suka lihat yang aneh-aneh, dan mulai terbiasa dengan mamak yang manja. Dan terjawab sudah, ternyata adekku perempuan. Pantas mamak pas hamil kelakuannya seperti itu.
Ada pelajaran beharga yang kudapat dari proses persalinana mamak.Aku akan mencari sosok pendamping hidup seperti bapak. Bapak yang sangar, ternyata berhati lembut dan penuh kasih sayang kepada istrinya. Masih teringat jelas, perjuangan mamak di usianya yang tak lagi muda harus berjuang melahirkan anak dari rahimnya. Perjuangan bapak yang menemani mamak, menyemangati mamak, dan menemani mamak. Kami anak-anaknya hanya menunggu di luar kamar mamak. Kebetulan mamak melahirkan di rumah papan andalan kami, dengan bidan andalan tentunya yang sudah membantu persalinan kami berempat dan ibu-ibu lainnya. Mulai dari jam 00.00 sampai jam 06.00 mamak berjuang melahirkan adek kami.
Dengan telaten bapak membersihkan darah yang keluar, menemani mamak, merawat mamak. Sekarang aku tau, betapa sayangnya bapak kepada mamak dan kami anak-anaknya. Pria mana yang mau membersihkan darah yang keluar langsung dari bagian penting perempuan, pria mana yang mau menggantikan pakaian dalamnya. Klopun ada, perempuan itu sangat beruntung dan berterima kasihlah kepada Tuhan mendapatkan pendamping hidup seperti itu.
Masa-masa remajaku tidak seperti kebanyakan remaja pada umumnya, ada tanggung jawab lebih buatku. Tiap hari rabu dan sabtu, aku harus belanja ke pasar lengkap dengan catatan yang harus ku beli buat kebutuhan di rumah. Setiap pagi jam 05.00, bahkan terkadang 04.30  aku harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan makanan di rumah dan tepat waktu berangkat di sekolah. Sepulang sekolah, aku harus bergegas pulang ke sekolah  untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Tumpukan baju yang siap untuk dicuci dan disetrika sudah menunggu di rumah, dan memasak untuk makanan di rumah. Tidak heran klo banyak mengakui masakanku enak, karena aku sudah terbiasa dengan bumbu-bumbu, alat-alat masak di dapur sejak aku SMP,kawan!
Aku tidak pernah ketinggalan, bukan ketinggalan soal model atau pergaulan. Tapi ini soal prestasi di sekolah. Walaupun dengan pekerjaan rumah yang banyak, aku bisa meraih Peringkat I di kelas, masuk kelas unggulan, dan bertahan di kelas unggulan sampai aku lulus SMP. Aku sudah terbiasa dengan tanpa rasa malu untuk sekedar singgah di tempat yang jadi tempat persinggahan turis-turis. Dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, dan rasa percaya diri yang tinggi memulai percakapanku dengan turis-turis tersebut. Diujung percakapan kami yang singkat, tidak lupa aku meminta foto sama, dengaan kamera mereka yang canggih, dan berharap foto dan sapaan mereka kirim dengan alamat yang sudah lengkap ku tulis di kertas mereka. Tidak sedikit dari mereka yang mengirim surat dan  menyelipkan foto kami, dan bahkan ada yang mengirim dollar atau hiasan.
Masuk SMA Plus impianku sejak aku duduk di bangku SD, salah satu alasannya rasa penasaran karena kakakku yang juara di kelasnya tidak lulus SMA Plus. Persiapanku sudah lama, dan puji Tuhan aku lulus di SMA Plus Matauli. Kaget,senang, dan bangga aku bisa lulus. Sekali lagi, rumah papan ini jadi saksi perjuanganku.
Ada berapa banyak orang yang malu dengan kondisi ekonomi yang menengah ke bawah menjadi alasan mereka mengaku orang kaya, membuat cerita dengan berbagai macam kemewahan untuk mendapat pengakuan sosial. Tapi tidak dengan aku, aku tidak pernah malu membawa temanku untuk bermain atau bahkan menginap di rumah kami yang sangat sederhana. Bagiku, untuk mendapatkan teman aku tidak perlu berbohong status sosialku mendapatkan pengakuan sosial.
Rumah Papan Na Linggom
Rumah na linggom, buatku dan buat keluarga rumah papan tempat kami tinggal adalah rumah na linggom. Bagi orang batak linggom adalah rumah yang memberikan kenyamanan, rumah yang teduh. Rumah papan tempat kami tinggal menjadi saksi banyaknya perjuangan hidup yang kami lewati, dan banyak berkat yang kami terima.
Walaupun rumah kami dari kapan, kami tidak pernah direpotkan dengan masalah bocor karena hujan deras. Selalu menjadi tempat yang melindungi kami dari hujan dan panas. Masih teringat jelas, rumah papan jadi saksi saat bapak menjadi camat dan menjabat kepala perencanaan program Kabupaten Tapanuli Utara. Sebagus apapun jabatan bapak, kami tidak pernah malu tinggal di rumah papan yang sederhana. Kami malu, jika kami harus tinggal di rumah mewah hasil korupsi.
Ya, sekali lagi rumah papan ini jadi saksi kami memulai hidup dari bawah sampai bapak menjadi seorang pejabat.
Rumah papan berubah menjadi rumah berdinding beton megah
Sering kali aku melihat rumah-rumah megah dan bagus di kota besar, sejak itu aku selalu bermimpi tidur di rumah megah. Sekali lagi, Tuhan memeluk mimpiku dan mewujudkannya. Kali ini bukan karena aku menikah dengan lelaki kaya raya, atau dapat hadiah undian rumah mewah. Lebih tepatnya rumah orangtuaku dengan perjuangan mereka.
Aku melihat gambar desain rumah di atas kertas, dengan kagum aku melihat rumah megah itu. Imajinasiku mulai bermain membayangkan aku sudah tidur nyenyak di rumah megah. Penuh perjuangan berpuluh-puluh tahun buat orangtuaku mewujudkan rumah impian mereka. Terlambat? Tidak ada yang terlambat di dunia ini kawan, selama kita masih merasakan nafas hidup, merasakan panas, dan merasakan dinginnya malam.
Rumah megah itu sekarang sudah berdiri megah di atas tanah, bukan di atas kertas. Tidak henti-hentinya aku merasa kagum melihat rumah itu. Belum percaya rasanya aku sudah tidur di kamar berndinding beton, mandi di kamar mandi yang berada di kamarku, tidak perlu berbagi kamar mandi dengan keluargaku seperti di rumah papan, dan melihat pemandangan dari balkon rumah. Bagiku ini sudah mewah, karena aku sudah merasakan hidup sangat sederhana, berbagi kamar mandi, tidur beralaskan tikar di depan TV. Bisakah kau bayangkan kawan? Bayangkan saja, cukup aku yang merasakannya.
Rumah papan dan rumah megah buat kami sama-sama rumah na lingom. Rumah megah tempat tinggal kami sekarang, banyak memberikan berkat buat keluarga kami. Rumah megah ini jadi saksi perjuangan keluarga mengantarkan bapak jadi salah satu calon wakil kepala daerah Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2013 silam.
Banyak yang kagum, dan tidak sedikit yang bertanya-tanya uang untuk membangun rumah megah kami. Perlukah aku menjelaskannya? Ingat kawan, tak ada gunanya menjelaskannya kepada orang iri dengan kehidupanmu karena itu akan sia-sia. Bagi mereka yang iri dengan kehidupanmu, kau tak punya nilai positif. Aku hanya akan menjelaskan bagi orang-orang yang ingin belajar dari perjuangan orangtuaku.
Perhitungan, pelit, tidak pernah memakai barang-barang mewah bisa terlihat dari keluarga kami. Masih ingat ceritaku kawan, sejak kecil kami sudah beternak babi untuk menambah penghasilan orangtua, membantu biaya sekolah kami. Tidak hanya itu, kami menggunakan lahan yang sedikit di tanggul sungai yang berada di sebrang rumah kami, dan meminjam lahan kolam ikan orang yang berada dibelakang rumah. Tidak pernah malu, saat aku menenteng canggul, menyebrangi jalan menuju lahan yang sedikit. Ubi kayu dan ubi jalar jadi tanaman andalan mamak. Teringat jelas, aku merengeng minta dibelikan mie sop saat maronan di pasar, dan dengan jurus jitunya mamak merayuku. Nanti kita masak mie hun goring di rumah, biar makan sama nanti kita semua di rumah, kata mamak. Buat mamak, hitung-hitungannya sangat jelas, dua porsi makanan di rumah bisa buat 6 orang di rumah dengan masak sendiri. Luar biasa khan kawan!
Aku sudah terbiasa diwarisi barang-barang dari kakak dan abangku. Sepatu dan baju-baju adalah warisan mereka yang selalu aku tunggu-tunggu. Tak pernah malu, karena aku memang tak mengenal gengsi. Kau tau kawan, seberapa tersiksanya sepatu yang kami pakai saat harus dijahit di tukang sol sepatu. Berapa kali sepatu itu harus dijahit agar dapat bertahan lama. Warnanya tetap awet, berkat minyak goreng bekas yang dilap ke sepatu. Caranya gampang, bersihkan sepatumu yang penuh debu, lapkan dengan minyak goreng bekas, bersihkan sampai ampuh. Tiap 2 kali seminggu aku tidak pernah lupa mencuci sepatuku yang penuh bekas jahitan.
Setiap perjuangan selalu ada hasilnya, terkadang hasilnya datang cepat terkadang disaat kita mulai putus asa. Seperti tertulis di Roma 4:4 “Kalau ada  orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai haknya”.Perjuangan mewujudkan rumah impian orangtuaku menjadi salah satu pelajaran hidup buatku. Walaupun mereka harus merasakannya di usia tua, tapi mereka bersyukur uang yang mereka kumpulkan tidak dari hasil korupsi. Kawan, bapakku sudah pernah diperiksa karena salah satu pejabat di Kabupaten Tapanuli Utara, belum lagi saat beliau mencalonkan sebagai calon wakil kepala daerah Pilkada tahun 2013, hasilnya beliau dinyatakan bebas dan bersih.
Kawan, sejelek atau semegah apapun rumahmu sama-sama melindungi kita dari panas dan hujan. Tergantung, dari cara mana kita memandangnya. Bersyukur, adalah kunci yang paling penting dari hidup ini. Tak perlu malu jadi orang miskin atau orang biasa-biasa, bergaya seperti orang kaya agar dapat pengakuan sosial. Ingat kawan, semua yang kita miliki hanya sementara. Bagi Tuhan, tidak ada yang kaya dan miskin. Allah yang punya segalanya, rela putraNya yang tunggal lahir di kandang domba, bukan di tempat mewah. Itu artinya, DIA bersama-sama orang yang tidak dipandang dari harta.

 Tulisan sederhana dari : Serly Nova Manalu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar